ads

8 Okt 2015

Dalil Membaca al-Quran di Kuburan


inilah Dalil Membaca al-Quran di Kuburan
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ (رواه الطبراني في الكبير رقم 13613 والبيهقي في الشعب رقم 9294 وتاريخ يحي بن معين 4 / 449) "Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah dimakamkan. Dan hendaklah di dekat kepalanya dibacakan pembukaan al-Quran (Surat al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan penutup surat al-Baqarah di kuburnya"
(HR al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 13613, al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya bin Maid 4/449) Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis tersebut:
فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِي بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (فتح الباري لابن حجر 3 / 184) "HR al-Thabrani dengan sanad yang hasan" (Fath al-Bari III/184)
Membaca al-Quran di kuburan sudah diamalkan sejak masa sahabat:
عَنْ عُمَرَ قَالَ : اُحْضُرُوْا أَمْوَاتَكُمْ فَأَلْزِمُوْهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَغْمِضُوْا أَعْيُنَهُمْ إِذَا مَاتُوْا وَاقْرَؤُوْا عِنْدَهُمُ الْقُرْآنَ (أخرجه عبد الرزاق رقم 6043 وابن أبى شيبة رقم 10882)
“Diriwayatkan dari Umar: Datangilah orang yang akan meninggal, bacakan mereka Lailaha illallah, pejamkan matanya jika mereka meninggal, dan bacakan al-Quran di dekatnya” (Abdurrazzaq No 6043 dan Ibnu Abi Syaibah No 10882) وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشُّعْبِي قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اِخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ (الروح : 11)
“al-Khallal menyebutkan dari Syu’bi bahwa sahabat Anshar jika diantara mereka ada yang meninggal, maka mereka bergantian ke kuburnya membaca al-Quran” (Ibnu Qayyim, al-Ruh: 11) Imam al-Nawawi mengutip kesepakatan ulama Syafi'iyah tentang membaca al-Quran di kuburan: وَيُسْتَحَبُّ (لِلزَّائِرِ) اَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ (المجموع شرح المهذب للشيخ النووي 5 / 311)
"Dan dianjurkan bagi peziarah untuk membaca al-Quran sesuai kemampuannya dan mendoakan ahli kubur setelah membaca al-Quran. Hal ini dijelaskan oleh al-Syafi'i dan disepakati oleh ulama Syafi'iyah" (al-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab V/311) Di bagian lagi Imam Nawawi juga berkata: قَالَ الشَّافِعِي وَاْلأَصْحَابُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَؤُوْا عِنْدَهُ شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ قَالُوْا فَإِنْ خَتَمُوْا الْقُرْآنَ كُلَّهُ كَانَ حَسَنًا (الأذكار النووية 1 / 162 والمجموع للشيخ النووي 5 / 294)
"Imam Syafii dan ulama Syafi'iyah berkata: Disunahkan membaca sebagian dari al-Quran di dekat kuburnya. Mereka berkata: Jika mereka mengkhatamkan al-Quran keseluruhan, maka hal itu dinilai bagus" (al-Adzkar I/162 dan al-Majmu' V/294) Murid Imam Syafi'i yang juga kodifikator Qaul Qadim, al-Za'farani, berkata: وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحُ الزَّعْفَرَانِي سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ اْلقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا (الروح لابن القيم 1 / 11)
"Al-Za'farani (perawi Imam Syafii dalam Qaul Qadim) bertanya kepada Imam Syafii tentang membaca al-Quran di kuburan. Beliau menjawab: Tidak apa-apa" (al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11) Al-Hafidz Ibnu Hajar mengomentari riwayat al-Za'farani dari Imam Syafi'i ini:
وَهَذَا نَصٌّ غَرِيْبٌ عَنِ الشَّافِعِي وَالزَّعْفَرَانِي مِنْ رُوَاةِ الْقَدِيْمِ وَهُوَ ثِقَةٌ وَإِذَا لَمْ يَرِدْ فِي الْجَدِيْدِ مَا يُخَالِفُ مَنْصُوْصَ الْقَدِيْمِ فَهُوَ مَعْمُوْلٌ بِهِ (الإمتاع بالأربعين المتباينة السماع للحافظ أحمد بن علي بن محمد بن علي بن حجر العسقلاني 1 / 85)
"Ini penjelasan yang asing dari al-Syafi'i. Al-Za'farani adalah perawi Qaul Qadim, ia orang terpercaya. Dan jika dalam Qaul Jadid tidak ada yang bertentangan dengan penjelasan Qaul Qadim, maka Qaul Qadim inilah yang diamalkan (yaitu boleh membaca al-Quran di kuburan)" (al-Imta', Ibnu Hajar, I/11)
صيد الخاطر للحافظ ابن الجوزي (ص: 96، بترقيم الشاملة آليا) فَهَذَا مَعْرُوْفٌ، كَانَ مُنْفَرِداً بِرَبِّهِ طَيِّبَ الْعَيْشِ مَعَهُ لَذِيْذَ الْخَلْوَةِ بِهِ. ثُمَّ قَدْ مَاتَ مُنْذُ نَحْوِ أَرْبَعِمِائَةِ سَنَةٍ فَمَا يَخْلُوْ أَنْ يُهْدَي إِلَيْهِ كُلَّ يَوْمٍ مَا تَقْدِيْرُ مَجْمُوْعِهِ أَجْزَاءٌ مِنَ الْقُرْآنِ. وَأَقَلُّهُ مَنْ يَقِلُّ عَلَى قَبْرِهِ فَيَقْرَأُ: " قُلْ هُوَ اللّهُ أَحَدٌ " ، وَيَهْدِيْهَا لَهُ. وَالسَّلاَطِيْنُ تَقِفُ بَيْنَ يَدَيْ قَبْرِهِ ذَلِيْلَةً. هَذَا بَعْدَ الْمَوْتِ، ويوم الحشر تنشر الكرامات التي لا توصف، وكذلك قبور العلماء المحققين.
Al-Hafidz Ibnu al-Jauzi al-Hanbali: “Sejak Ma’ruf al-Karakhi wafat tahun 200 H, tiap hari, mendapat kiriman hadiah pahala bacaan berjuz-juz al-Qur’an, minimal orang berdiri di pinggir makamnya dan membacakan surat al-Ikhlash untuknya.” Membaca al-Quran di kuburan juga diamalkan sejak generasi ulama salaf:
تاريخ بغداد للحافظ الخطيب البغداجي (1/ 122) أخبرني أبو إسحاق إبراهيم بن عمر البرمكي قال نبأنا أبو الفضل عبيد الله بن عبد الرحمن بن محمد الزهري قال سمعت أبي يقول قَبْرُ مَعْرُوْفٍ اْلكَرَخِي مُجَرَّبٌ لِقَضَاءِ الْحَوَائِجِ وَيُقَالُ إِنَّهُ مَنْ قَرَأَ عِنْدَهُ مِائَةَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَسَأَلَ اللهَ تَعَالَى مَا يُرِيْدُ قَضَى اللهُ لَهُ حَاجَتَهُ Tradisi membaca surat al-Ikhlash 100 kali, di makam Ma’ruf al-Karakhi (wafat th 200 H) berlangsung sejak generasi salaf untuk terkabulnya hajat (al-Hafidz Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad)
سير أعلام النبلاء للحافظ الذهبي (18/ 546) 276 - أبو جعفر الهاشمي * الامام، شيخ الحنبلية، .... فَمَاتَ هُنَاكَ، وَكَانَتْ جَنَازَتُهُ مَشْهُوْدَةً، وَدُفِنَ إِلَى جَانِبِ قَبْرِ اْلاِمَامِ أَحْمَدَ، وَلَزِمَ النَّاسُ قَبْرَهُ مُدَّةً حَتَّى قِيْلَ: خُتِمَ عَلَى قَبْرِهِ عَشْرَةُ آلاَفٍ خَتْمَةً ( المنتظم " 8 / 316 - 317، و " ذيل طبقات الحنابلة " 1 / 17 و 22 و 23، و " البداية والنهاية " 12 / 129)
Ketika al-Imam Abu Ja’far al-Hasyimi, guru besar madzhab Hanbali, wafat tahun 470 H, kaum Hanabilah membaca al-Qur’an di makamnya sampai hatam 10.000 kali (al-Hafidz adz-Dzahabi, al-Hafidz Ibnu Katsir Dll) Begitu pula ketika Ibnu Taimiyah wafat, di kuburnya dibacakan al-Quran
البداية والنهاية (14/ 156) ابن كثير القرشي (700 - 774هـ). وختمت له ختمات كثيرة بالصالحية وبالبلد، وتردد الناس إلى قبره أياما كثيرة ليلا ونهارا يبيتون عنده ويصبحون، ورئيت له منامات صالحة كثيرة، ورثاه جماعة بقصائد جمة .
“Ibnu Taimiyah dikhatamkan bacaan al-Quran berkali-kali baik di makamnya atau di kota. Orang-orang mondar-mandir ke kuburnya berkali-kali selama beberapa hari yang lama, malam atau siang. Mereka menginap di dekat kuburnya sampai Subuh. Mereka menjumpai mimpi-mimpi yang baik tentang Ibnu Taimiyah, dan para jamaah melantunkan kasidah yang beraneka ragam" Dari Dalil-Dalil diatas dan amaliyah Ulama, Khususnya ahli hadis, adakah yang menyatakan membaca al-Quran di Kuburan Sebagai Kesyirikan? Atau adakah larangannya dari dalil agama?

Hukum Menambahkan Nama Suami Setelah Nama Istri



Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”[HR. Bukhari, Shahih Bukhari Kitab Faraid, Bab “Barang siapa yang menisbatkan kepada selain bapaknya” jilid 4 hal 15 hadits no. 6766. dan Muslim]

وقال صلى الله عليه وسلم : ( مَنْ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ .. فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْ2599)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya, maka baginya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya.” (HR Ibnu Majah)
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ، وَمَنِ ادَّعَى مَا ليْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا، وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Tidaklah seseorang menyandarkan nasab kepada selain ayahnya, sedang dia mengetahuinya, melainkan dia telah kafir. Barang siapa yang mengaku-ngaku sesuatu yang bukan haknya maka dia bukan dari golongan kami, dan hendaklah ia bersiap-siap untuk menempati tempat duduknya di Neraka. Barang siapa yang memanggil seseorang dengan kafir atau dia berkata : ‘Hai musuh Allah!’ padahal orang itu tidak demikian, niscaya ucapannya itu kembali kepada dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘alaih. Ini adalah lafazh Muslim)
Dari Watsilah bin al-Asqa’, Rasulullah saw. bersabda, “Termasuk kedustaan terbesar adalah menisbatkan seseorang kepada selain ayahnya…” (HR. Bukhari).

عن ابي ذار رضي الله عنه سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من ادعى الى غير ابيه وهو يعلمه الا كفر
Dari Abu Dzar r.a. bahwa ia pernah mendengar Nabi Sا. bersabda, “Tidaklah seseorang itu memanggil orang lain dengan nama selain ayahnya melainkan ia telah kufur.” (HR. Bukhari)
Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa, seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain ayah kandunganya, apabila ia tahu siapa ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz “fal jannatu „alaihi haramum“. Orang yang tidak boleh masuk surga adalah orang yang berdosa. Jadi apabila seseorang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa, sehingga diharamkan untuknya surga.
Islam telah mengharamkan untuk menyebut nama ayah angkat di belakang nama seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan di dalam Al-Quran keharaman hal ini :

ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Panggilah mereka dengan nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab :5)
Jelaslah sudah bahwa larangan menambahkan nama nasab (bin/binti) selain nasabnya sendiri melalui penjelasan diatas , lantas bagaimana jika menambahkan nama suami dibelakang nama istri?

Jika kita cermati ayat maupun hadits-hadits diatas sebenarnya tidak ada berhubungan dengan menambah nama suami di belakang nama istri. ,yang dimaksud ayat dan hadits diatas adalah pembahasan tentang mengadopsi anak dan kemudian anak itu dinisbahkan sebagai anak sendiri dan ayah sendiri.hukum menisbahkan seperti inilah yang tidak diperbolehkan.

Jadi pelarangan didalam hadits-hadits diatas itu apabila dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan sebagai anak, seperti contoh kata: anak,bin, binti dan lain sebagainya, yang dilarang bukan seluruh penisbatan atau penyebutan identitas. Penggunaan kata-kata tertentu untuk menjelaskan identitas seseorang sehingga menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat atau waktu tertentu adalah tidak apa-apa selama tidak menyeret pada kesalahpahaman adanya hubungan kekerabatan yang dilarang oleh syariat Islam.

Kesimpulannya :Yang tidak boleh adalah menisbatkan/menasabkan pada selain ayah. Adapun penambahan nama suami dibelakang nama istri bukan yg dimaksud dalam pelarangan ini.
Semoga kita selalu mendapatkan lindungan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dari berbagai permasalahan yang tidak benar dan semoga Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang tidak tahu.
Wallahu a’lam bis-Shawab

1 Okt 2015

Habib Saggaf Aljufri, Sang Nahkoda Al-Khairaat



Habib Saggaf bin Muhammad Al-Jufri, Ketua Utama Al-Khairat Palu, namanya dikenal luas di kalangan ulama maupun umara. Habib sepuh yang kini menginjak umur 76 tahun ini, merupakan salah satu habib yang dihormati di kalangan umat maupun masyarakat. Tak sungkan-sungkan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali mendiskusikan soal aliran Islam Sunni dan Syiah ketika muncul terkait maraknya pertentangan Islam Sunni-Syiah pascaperistiwa bentrok yang menewaskan seorang warga di Sampang, Madura, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Begitu juga ketika berkunjunga ke Palu, mantan Ketua Mahkamh Konstitusi RI DR.Hamdan Zoelva, SH,MH didampingi Ketua KPU Provinsi Sulawesi Tengah Sahran Raden, S.Ag,SH,MH melakukan kunjungan silahrutahmi kepada Habib Saggaf Aldjufri di kediamannya Jl. SIS Aljufri Lorong 1 Palu. Hamdan Zoelva perlu memperkenalkan diri serta mohon doa restu dalam memimpin lembaga peradilan sengketa undang-undang ini.
Habib Saggaf tidak saja dihormati di kalangan umat Islam, tetapi juga disegani di kalangan non-Muslim. Dia mengajak kepada umat Kristiani untuk menjaga kerukunan beragama. Hal itu disampaikannya saat dikunjungi sekolompok umat Kristiani, bulan lalu.
“Apapun kalian, entah protestan atau yang lain, kalau ada perintah Pendeta yang tidak benar jangan diterima. Kalau itu hanya diarahkan pada urusan politik yang bikin kacau. Untuk apa dibangun (bangunan simbol agama, red) kalau hanya menghadirkan permasalahan!” kata Habib Saggaf.
Begitu pula, ia mengimbau umat Muslim apabila ada perintah berpotensi kekacauan, maka harus ditolak. “Kalau ada sama kita, kita ‘hajar’ mereka!” tegasnya lagi.
Dia juga memuji umat Kristiani yang ada di Kulawi dan Palolo, yang turut menjaga Alkhairaat. Di Kulawi beberapa madrasah Alkhairaat memiliki guru dari agama Kristen.
Soal bom bunuh diri yang dilakukan kelompok radikal, Habib Saggaf mengecam keras.
Menurut ulama kharismatik di Sulteng itu, bom bunuh diri itu adalah tindakan bodoh. Aksi bom bunuh diri itu, kata Habib Saggaf, hukumnya haram dan sangat berdosa, apalagi aksi itu dilakukan di Indonesia. Aksi tersebut sangatlah merugikan diri sendiri dan masyarakat secara keluruhan.

Habib Saggaf bin Muhammad Al-Jufri lahir 17 Agustus 1937 di Pekalongan.Habib yang ulang tahunnya bersamaan dengan hari kemerdekaan NKRI ini adalah anak sulung pasangan Habib Muhammad bin Idrus Al-Jufri dan Hababah Raquan binti Thalib Al-Jufri.
“Rumah saya dulu di Jalan Bandung 47 kota Pekalongan, dekat Maderasah Al-Irsyad. Saya dengar kabar rumah itu sekarang menjadi rumah sakit,” ujarnya mengenang. Kenangan indah di kota Pekalongan ini tetap melekat, sebab dia tinggal hingga umur 13 tahun, sehingga fasih bahasa Jawa. “Piye kabare?” Begitu habib sepuh ini menyapa penulis ketika berkunjung ke Palu beberapa bulan lalu.
Habib Saggaf sempat belajar di Maderasah Arab Islamiyah Pekalongan. Cuma dia tidak ingat betul, siapa dulu ustadz-ustadz yang mengajarnya. Bermain-main di Alun-alun Pekalongan, kemudian mengikuti kegiatan keagamaan di Masjid Waqaf, peninggalan Habib Ahmad bin Tholib Alatas. Juga mengikuti haul Habib Ahmad bin Thalib Alatas yang diselenggarakan di makam Sapura kota Pekalongan.
Habib Muhammad Al-Jufri, ayahnya, dulu berdagang di Pekalongan, dan pernah sebentar di kota Solo untuk mengajar dan juga berdagang.
Namun kakeknya, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri (1309 H/1892 M – 1389 H/1969 M) yang dikenal dengan nama kultural “Guru Tua” menjelang tua dan banyak pekerjaan yang perlu bantuan keluarga, maka keluarga Habib Muhammad Al-Jufri pindah ke Palu sekitar tahun 1951.
Di Palu, Habib Saggaf melanjutkan sekolah ibtidaiyahnya, diteruskan tsanawiyah, serta Mualimin B dan Mualimin A. “Selain itu, setiap pagi saya harus mengikuti pelajaran khusus yang disampaikan oleh Guru Tua untuk semua murid,” ujarnya.
Rihlah Dakwah
Pada tahun 1955, Habib Saggaf lulus maderasah Mualimin, dan dia diikut sertakan dalam rihlah dakwah Habib Idrus Al-Jufri ke berbagai kota di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Dalam perjalanan dakwah itu, Habib Idrus Al-Jufri menguji kesabaran, ketabahan, dan kecakapan kita dalam bergaul di masyarakat.
Sebuah pengalaman terjadi pada tahun 1959, Habib Idrus telah memutuskan untuk mengadakan rihlah dakwah ke timur dan ke selatan.
Para murid, termasuk Habib Saggaf, yang jumlahnya sekitar 5-6 orang mempersiapkan keperluan Habib Idrus Al-Jufri. Di antaranya barang dagangan yang akan dibawa di dalam perjalanan, yaitu sarung Donggala cap padi, serta kain-kain lainnya. Kriteria murid yang diajak, salah satunya karena bacaan Al-Qurannya bagus.
Qari itu diperlukan ketika membuka majelis, atau mereka yang bisa membaca shalawat dan qashidah dengan lancar serta berbagai syair-syair Arab yang sering mengisi majelis Habib Idrus.
Mengapa Habib Idrus membawa dagangan? Hal ini suatu pelajaran bagi para dai sekarang yang akan melaksanakan rihlah dakwah.
Barang dagangan itu dijual di suatu tempat atau kota, dan kalau sudah habis, dia akan membawa barang-barang yang ada di tempat atau kota tersebut nanti dijual ke tempat dan kota berikutnya.
Hasil perdagangan itu untuk biaya rihlah dakwah, seperti keperluan makan, ongkos kendaraan atau perahu, serta keperluan lainnya, seperti bantuan kepada masyarakat untuk mendirikan mushala atau maderasah.
Rihlah dakwah waktu, tidak selancar sekarang. Jalan belum mulus, dan mesti menunggu truk atau perahu yang bersedia membawa rombongan itu ke suatu tempat. Jarak Palu-Parigi yang sekarang dapat ditempuh dalam beberapa jam, waktu itu harus ditempuh satu dua hari perjalanan. Sebab baru 40 km berjalan saja, harus berhenti dan menginap dulu di tempat itu. Baru kemudian dilanjutkan ketika hari sudah terang.
Dalam saat menginap itu, biasanya ada pedagang setempat yang menjualkan dagangan Habib Idrus Al-Jufri. Entah karena berkah atau apa, barang dagangan itu banyak dicari jamaah, sedang barang serupa sebetulnya ada di toko lain. Seperti ketika di kota Poso, semua barang dagangan habis dibeli jamaah dengan jaminan toko yang dimiliki oleh salah satu murid Habib Idrus Al-Jufri. Kemudian toko itu juga menjamin Habib Idrus Al-Jufri untuk mengambil barang-barang dagangan untuk dijual ke tempat berikutnya secara konsinyasi.
Habib Saggaf menuturkan kisah Habib Idrus Al-Jufri dan murid-murid yang menyertainya, termasuk Habib Saggaf, pergi ke berbagai tempat di Sulawesi Tengah bagian timur. Berangkat bulan Sya’ban, sampai di Poso pada awal Ramadhan. Lama perjalanan, selain waktu itu jalannya belum baik, juga belum ada jembatan, sehingga harus menunggu perahu ketika menyebrang sungai, dan berhenti-berhenti di suatu kota atau desa untuk berdakwah.
Perjalanan dari Poso menuju kota Bungkuk, Morawali, lamanya sekitar satu bulan. Sebab tiba di Morawali persis ketika Idul Fitri, dan melaksanakan shalat Id di kota itu. Dan kemudian ke kota Luwuk melalui jalan laut.
“Habib mempunyai kebiasaan, bila lewat sebuah desa yang ada masjid atau maderasahnya, maka beliau akan singgah. Dan kalau penduduk setempat minta beliau memberikan pengajian, maka beliau akan tinggal beberapa hari di tempat itu,” jelas Habib Saggaf.
Pernah sekali sebuah desa yang dilewati tidak ada masjid maupun maderasah, maka rombongan Guru Tua hanya lewat saja.
Namun ketika pulang lewat jalan laut pada malam hari, perahu yang membawa rombongan Guru Tua di sekitar desa yang tidak ada masjid dan maderasah itu, di depan terlihat barekade perahu nelayan yang menghadang jalan perahu Guru Tua. Hal itu lerlihat dari lampu kapal yang mereka pasang.
Guru Tua kaget, apakah mereka akan dirampok? Ternyata tidak, para nelayan itu meminta Guru Tua dan rombongan sudi singgah di desa mereka. Mereka merasa malu tidak bisa memberikan penghormatan kepada Guru Tua karena dia tidak mau singgah di desa mereka yang tidak memiliki masjid dan maderasah.
“Akhirnya Habib dan rombongan singgah dan memberikan tuntunan agama Islam, dan rencana untuk mendirikan masjid dan maderasah. Salah satu penduduk di desa itu disuruh ikut Habib untuk diberi pelajaran, supaya nanti bisa menjadi imam masjid dan membina maderasah di desanya,” kata Habib Saggaf.
Ke Mesir
Pada tahun 1959, Habib Saggaf mendapat beasiswa belajar ke Universitas Al-Azhar. Pada waktu temannya dari Indonesia, antara lain Prof Dr Quraisy Syihab, Dr Alwi Syihab, Dr Umar Syihab, Mustafa Mahdamy dari Surabaya, Umar Hadadi, dan Yahya Assegaf dari Jakarta.
Habib Saggaf mengambil jurusan Syariah wal Qanun. Setelah S1 kemudian dilanjutkan S2, sehingga masa studinya cukup lama yaitu, dari 1959 hingga 1967.
Selain giat belajar, Habib Saggaf juga ikut kegiatan organisasi di Himpunan Pelajar dan Pemuda Indonesia (HPPI). Ketuanya waktu itu Jazuli Nur, sekretaris Gus Dur, dan dia sendiri duduk di bagian pendidikan.
“Gus Dur kuliah di Nizham Qadim, non gelar, jadi seperti pesantren, kuliahnya melingkar di masjid. Biasanya di bawah tiang masjid ada seorang guru besar yang memberikan kuliah pada jam-jam tertenu. Sedang saya di Nizham Jadid, sistem klasikal atau Fakultas, jadi kalau lulus dapat gelar,” terangnya.
Setelah mendapat gelar MA pada tahun 1967, Habib Saggaf langsung pulang ke Palu.
Belum berapa lama istirahat, Habib Saggaf langsung disodori jabatan Dekan Fakultas Ushuluddin, filial IAIN Datuk Karamah, yang ada di Palu. Meski dilantik Dirjen Depag RI pada waktu itu dengan SK PNS, tetapi karena usulan berkas hilang, maka sampai sekarang dirinya tidak pernah tercatat sebagai pegawai negeri.
Habib Saggaf menjadi Dekan Ushuluddin selama 10 tahun, yaitu pada tahun 1967 hingga 1977. Ketika minta berhenti, karena ingin lebih fokus mengurus Al-Khairaat, tidak diberi izin. Sedang Habib Saggaf sebetulnya sudah menjadi Ketua Umum Al-Khairaat sejak 1962, yaitu ketika dirinya masih belajar di Al-Azhar Mesir.
Wakilnya, Habib Abdurrahman bin Syaikh Al-Jufri, kemenakannya, yang menjalankan tugas selama dirinya masih di Mesir.
Pada tahun 1977 dipilih menjadi Ketua MUI Sulawesi Tengah dan pernah juga menjadi Ketua Umum GUPPI Sulawesi Tengah.
Namun semua jabatan itu kini ditinggalkannya, dan lebih fokus kepada jabatan sebagai Ketua Utama Al-Khairaat yang mengurusi pendidikan TK hingga perguruan tinggi, pesantren, lembaga pengobatan, yatim piatu, radio, surat kabar, dan lembaga social keagamaan lainnya.
Di dalam Al-Khairaat ada perbedaan antara ketua utama dan ketua umum. Ketua Utama seperti jabatan Rais Aam dalam organisasi PBNU, sedang ketua umum ya seperti jabatan ketua umum (Tanfidziah) di organisasi PBNU.
“Jadi Ketua Utama memiliki hak veto untuk menentukan atau menolak sebuah keputusan organisasi di dalam Al-Khairaat. Hal ini karena pertimbangan dulu, ada salah satu komisaris daerah yang seenaknya sendiri mengangat pengurus, dan menganggap Al-Khairaat di daerah sebagai miliknya. Karena itu pengurus yang tidak benar itu, bisa diveto oleh Ketua Utama, diberhentikan atau dibatalkan kebijaksanaannya yang tidak sesuai dengan misi organisasi,” ujar Habib Saggaf.
Keluarga
Pada tahun 1967, Habib Saggaf menikah dengan Syarifah Ruqayah Al-Jufri dan melahirkan anak, di antaranya Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri, serta Sakinah.
Pada tahun 1971 menikah lagi dengan Syarifah Zahrah bin Yahya dan memiliki anak, di antaranya Dr Mufidah yang menikah dengan Dr Ali bin Hasan Al-Jufri, dosen STAIN Al-Khairat. Pasangan dua doktor ini mengasuh pondok putra Al-Khairaat di Dolo. Kemudian menikah lagi dengan Syarifah Umnah Ar-Rumi memiliki empat anak, yaitu Mustafa, Raguan, Raqayah, dan Fathimah.
Bersama dengan istrinya, Syarifah Umnah, sehari-hari Habib Saggaf mengurus toko buku serta beberapa keperluan santri lainnya di Jalan SIS Al-Jufri Palu. Selain sudah sepuh, sehingga tenaganya berkurang, Habib Saggaf masih melayani beberapa pengajian, dan kadang khotbah nikah, serta kegiatan yang ringan di kota Palu. Tentu saja memimpin acara haul Guru Tua pada 12 Syawal, setiap tahun.
Menurut catatan, Habib Saggaf telah menulis dua buku, yaitu: (1) buku yang dipublikasikan habib saggaf: Soal Jawab tentang Umat dan Masalahnya (dua jilid). Anasyid (satu jilid), Kumpulan Mahfuzhat (tiga jilid). Makna Saggaf dalam bahasa Indonesia bisa berarti: atap atau langit-langit rumah, tetapi yang pas adalah pengayom.
Dulu dia menulis untuk surat kabar Al-Khairaat setiap hari untuk rubrik kolom khusus, tetapi sekarang sudah digantikan adiknya. Habib Abdillah bin Muhammad Al-Jufri.

Analist