Habib Saggaf bin Muhammad Al-Jufri, Ketua Utama Al-Khairat Palu, namanya dikenal luas di kalangan ulama maupun umara. Habib sepuh yang kini menginjak umur 76 tahun ini, merupakan salah satu habib yang dihormati di kalangan umat maupun masyarakat. Tak sungkan-sungkan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali mendiskusikan soal aliran Islam Sunni dan Syiah ketika muncul terkait maraknya pertentangan Islam Sunni-Syiah pascaperistiwa bentrok yang menewaskan seorang warga di Sampang, Madura, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Begitu juga ketika berkunjunga ke Palu, mantan Ketua Mahkamh Konstitusi RI DR.Hamdan Zoelva, SH,MH didampingi Ketua KPU Provinsi Sulawesi Tengah Sahran Raden, S.Ag,SH,MH melakukan kunjungan silahrutahmi kepada Habib Saggaf Aldjufri di kediamannya Jl. SIS Aljufri Lorong 1 Palu. Hamdan Zoelva perlu memperkenalkan diri serta mohon doa restu dalam memimpin lembaga peradilan sengketa undang-undang ini.
Habib Saggaf tidak saja dihormati di kalangan umat Islam, tetapi juga disegani di kalangan non-Muslim. Dia mengajak kepada umat Kristiani untuk menjaga kerukunan beragama. Hal itu disampaikannya saat dikunjungi sekolompok umat Kristiani, bulan lalu.
“Apapun kalian, entah protestan atau yang lain, kalau ada perintah Pendeta yang tidak benar jangan diterima. Kalau itu hanya diarahkan pada urusan politik yang bikin kacau. Untuk apa dibangun (bangunan simbol agama, red) kalau hanya menghadirkan permasalahan!” kata Habib Saggaf.
Begitu pula, ia mengimbau umat Muslim apabila ada perintah berpotensi kekacauan, maka harus ditolak. “Kalau ada sama kita, kita ‘hajar’ mereka!” tegasnya lagi.
Dia juga memuji umat Kristiani yang ada di Kulawi dan Palolo, yang turut menjaga Alkhairaat. Di Kulawi beberapa madrasah Alkhairaat memiliki guru dari agama Kristen.
Soal bom bunuh diri yang dilakukan kelompok radikal, Habib Saggaf mengecam keras.
Menurut ulama kharismatik di Sulteng itu, bom bunuh diri itu adalah tindakan bodoh. Aksi bom bunuh diri itu, kata Habib Saggaf, hukumnya haram dan sangat berdosa, apalagi aksi itu dilakukan di Indonesia. Aksi tersebut sangatlah merugikan diri sendiri dan masyarakat secara keluruhan.
Habib Saggaf bin Muhammad Al-Jufri lahir 17 Agustus 1937 di Pekalongan.Habib yang ulang tahunnya bersamaan dengan hari kemerdekaan NKRI ini adalah anak sulung pasangan Habib Muhammad bin Idrus Al-Jufri dan Hababah Raquan binti Thalib Al-Jufri.
“Rumah saya dulu di Jalan Bandung 47 kota Pekalongan, dekat Maderasah Al-Irsyad. Saya dengar kabar rumah itu sekarang menjadi rumah sakit,” ujarnya mengenang. Kenangan indah di kota Pekalongan ini tetap melekat, sebab dia tinggal hingga umur 13 tahun, sehingga fasih bahasa Jawa. “Piye kabare?” Begitu habib sepuh ini menyapa penulis ketika berkunjung ke Palu beberapa bulan lalu.
Habib Saggaf sempat belajar di Maderasah Arab Islamiyah Pekalongan. Cuma dia tidak ingat betul, siapa dulu ustadz-ustadz yang mengajarnya. Bermain-main di Alun-alun Pekalongan, kemudian mengikuti kegiatan keagamaan di Masjid Waqaf, peninggalan Habib Ahmad bin Tholib Alatas. Juga mengikuti haul Habib Ahmad bin Thalib Alatas yang diselenggarakan di makam Sapura kota Pekalongan.
Habib Muhammad Al-Jufri, ayahnya, dulu berdagang di Pekalongan, dan pernah sebentar di kota Solo untuk mengajar dan juga berdagang.
Namun kakeknya, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri (1309 H/1892 M – 1389 H/1969 M) yang dikenal dengan nama kultural “Guru Tua” menjelang tua dan banyak pekerjaan yang perlu bantuan keluarga, maka keluarga Habib Muhammad Al-Jufri pindah ke Palu sekitar tahun 1951.
Di Palu, Habib Saggaf melanjutkan sekolah ibtidaiyahnya, diteruskan tsanawiyah, serta Mualimin B dan Mualimin A. “Selain itu, setiap pagi saya harus mengikuti pelajaran khusus yang disampaikan oleh Guru Tua untuk semua murid,” ujarnya.
Rihlah Dakwah
Pada tahun 1955, Habib Saggaf lulus maderasah Mualimin, dan dia diikut sertakan dalam rihlah dakwah Habib Idrus Al-Jufri ke berbagai kota di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Dalam perjalanan dakwah itu, Habib Idrus Al-Jufri menguji kesabaran, ketabahan, dan kecakapan kita dalam bergaul di masyarakat.
Sebuah pengalaman terjadi pada tahun 1959, Habib Idrus telah memutuskan untuk mengadakan rihlah dakwah ke timur dan ke selatan.
Para murid, termasuk Habib Saggaf, yang jumlahnya sekitar 5-6 orang mempersiapkan keperluan Habib Idrus Al-Jufri. Di antaranya barang dagangan yang akan dibawa di dalam perjalanan, yaitu sarung Donggala cap padi, serta kain-kain lainnya. Kriteria murid yang diajak, salah satunya karena bacaan Al-Qurannya bagus.
Qari itu diperlukan ketika membuka majelis, atau mereka yang bisa membaca shalawat dan qashidah dengan lancar serta berbagai syair-syair Arab yang sering mengisi majelis Habib Idrus.
Mengapa Habib Idrus membawa dagangan? Hal ini suatu pelajaran bagi para dai sekarang yang akan melaksanakan rihlah dakwah.
Barang dagangan itu dijual di suatu tempat atau kota, dan kalau sudah habis, dia akan membawa barang-barang yang ada di tempat atau kota tersebut nanti dijual ke tempat dan kota berikutnya.
Hasil perdagangan itu untuk biaya rihlah dakwah, seperti keperluan makan, ongkos kendaraan atau perahu, serta keperluan lainnya, seperti bantuan kepada masyarakat untuk mendirikan mushala atau maderasah.
Rihlah dakwah waktu, tidak selancar sekarang. Jalan belum mulus, dan mesti menunggu truk atau perahu yang bersedia membawa rombongan itu ke suatu tempat. Jarak Palu-Parigi yang sekarang dapat ditempuh dalam beberapa jam, waktu itu harus ditempuh satu dua hari perjalanan. Sebab baru 40 km berjalan saja, harus berhenti dan menginap dulu di tempat itu. Baru kemudian dilanjutkan ketika hari sudah terang.
Dalam saat menginap itu, biasanya ada pedagang setempat yang menjualkan dagangan Habib Idrus Al-Jufri. Entah karena berkah atau apa, barang dagangan itu banyak dicari jamaah, sedang barang serupa sebetulnya ada di toko lain. Seperti ketika di kota Poso, semua barang dagangan habis dibeli jamaah dengan jaminan toko yang dimiliki oleh salah satu murid Habib Idrus Al-Jufri. Kemudian toko itu juga menjamin Habib Idrus Al-Jufri untuk mengambil barang-barang dagangan untuk dijual ke tempat berikutnya secara konsinyasi.
Habib Saggaf menuturkan kisah Habib Idrus Al-Jufri dan murid-murid yang menyertainya, termasuk Habib Saggaf, pergi ke berbagai tempat di Sulawesi Tengah bagian timur. Berangkat bulan Sya’ban, sampai di Poso pada awal Ramadhan. Lama perjalanan, selain waktu itu jalannya belum baik, juga belum ada jembatan, sehingga harus menunggu perahu ketika menyebrang sungai, dan berhenti-berhenti di suatu kota atau desa untuk berdakwah.
Perjalanan dari Poso menuju kota Bungkuk, Morawali, lamanya sekitar satu bulan. Sebab tiba di Morawali persis ketika Idul Fitri, dan melaksanakan shalat Id di kota itu. Dan kemudian ke kota Luwuk melalui jalan laut.
“Habib mempunyai kebiasaan, bila lewat sebuah desa yang ada masjid atau maderasahnya, maka beliau akan singgah. Dan kalau penduduk setempat minta beliau memberikan pengajian, maka beliau akan tinggal beberapa hari di tempat itu,” jelas Habib Saggaf.
Pernah sekali sebuah desa yang dilewati tidak ada masjid maupun maderasah, maka rombongan Guru Tua hanya lewat saja.
Namun ketika pulang lewat jalan laut pada malam hari, perahu yang membawa rombongan Guru Tua di sekitar desa yang tidak ada masjid dan maderasah itu, di depan terlihat barekade perahu nelayan yang menghadang jalan perahu Guru Tua. Hal itu lerlihat dari lampu kapal yang mereka pasang.
Guru Tua kaget, apakah mereka akan dirampok? Ternyata tidak, para nelayan itu meminta Guru Tua dan rombongan sudi singgah di desa mereka. Mereka merasa malu tidak bisa memberikan penghormatan kepada Guru Tua karena dia tidak mau singgah di desa mereka yang tidak memiliki masjid dan maderasah.
“Akhirnya Habib dan rombongan singgah dan memberikan tuntunan agama Islam, dan rencana untuk mendirikan masjid dan maderasah. Salah satu penduduk di desa itu disuruh ikut Habib untuk diberi pelajaran, supaya nanti bisa menjadi imam masjid dan membina maderasah di desanya,” kata Habib Saggaf.
Ke Mesir
Pada tahun 1959, Habib Saggaf mendapat beasiswa belajar ke Universitas Al-Azhar. Pada waktu temannya dari Indonesia, antara lain Prof Dr Quraisy Syihab, Dr Alwi Syihab, Dr Umar Syihab, Mustafa Mahdamy dari Surabaya, Umar Hadadi, dan Yahya Assegaf dari Jakarta.
Habib Saggaf mengambil jurusan Syariah wal Qanun. Setelah S1 kemudian dilanjutkan S2, sehingga masa studinya cukup lama yaitu, dari 1959 hingga 1967.
Selain giat belajar, Habib Saggaf juga ikut kegiatan organisasi di Himpunan Pelajar dan Pemuda Indonesia (HPPI). Ketuanya waktu itu Jazuli Nur, sekretaris Gus Dur, dan dia sendiri duduk di bagian pendidikan.
“Gus Dur kuliah di Nizham Qadim, non gelar, jadi seperti pesantren, kuliahnya melingkar di masjid. Biasanya di bawah tiang masjid ada seorang guru besar yang memberikan kuliah pada jam-jam tertenu. Sedang saya di Nizham Jadid, sistem klasikal atau Fakultas, jadi kalau lulus dapat gelar,” terangnya.
Setelah mendapat gelar MA pada tahun 1967, Habib Saggaf langsung pulang ke Palu.
Belum berapa lama istirahat, Habib Saggaf langsung disodori jabatan Dekan Fakultas Ushuluddin, filial IAIN Datuk Karamah, yang ada di Palu. Meski dilantik Dirjen Depag RI pada waktu itu dengan SK PNS, tetapi karena usulan berkas hilang, maka sampai sekarang dirinya tidak pernah tercatat sebagai pegawai negeri.
Habib Saggaf menjadi Dekan Ushuluddin selama 10 tahun, yaitu pada tahun 1967 hingga 1977. Ketika minta berhenti, karena ingin lebih fokus mengurus Al-Khairaat, tidak diberi izin. Sedang Habib Saggaf sebetulnya sudah menjadi Ketua Umum Al-Khairaat sejak 1962, yaitu ketika dirinya masih belajar di Al-Azhar Mesir.
Wakilnya, Habib Abdurrahman bin Syaikh Al-Jufri, kemenakannya, yang menjalankan tugas selama dirinya masih di Mesir.
Pada tahun 1977 dipilih menjadi Ketua MUI Sulawesi Tengah dan pernah juga menjadi Ketua Umum GUPPI Sulawesi Tengah.
Namun semua jabatan itu kini ditinggalkannya, dan lebih fokus kepada jabatan sebagai Ketua Utama Al-Khairaat yang mengurusi pendidikan TK hingga perguruan tinggi, pesantren, lembaga pengobatan, yatim piatu, radio, surat kabar, dan lembaga social keagamaan lainnya.
Di dalam Al-Khairaat ada perbedaan antara ketua utama dan ketua umum. Ketua Utama seperti jabatan Rais Aam dalam organisasi PBNU, sedang ketua umum ya seperti jabatan ketua umum (Tanfidziah) di organisasi PBNU.
“Jadi Ketua Utama memiliki hak veto untuk menentukan atau menolak sebuah keputusan organisasi di dalam Al-Khairaat. Hal ini karena pertimbangan dulu, ada salah satu komisaris daerah yang seenaknya sendiri mengangat pengurus, dan menganggap Al-Khairaat di daerah sebagai miliknya. Karena itu pengurus yang tidak benar itu, bisa diveto oleh Ketua Utama, diberhentikan atau dibatalkan kebijaksanaannya yang tidak sesuai dengan misi organisasi,” ujar Habib Saggaf.
Keluarga
Pada tahun 1967, Habib Saggaf menikah dengan Syarifah Ruqayah Al-Jufri dan melahirkan anak, di antaranya Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri, serta Sakinah.
Pada tahun 1971 menikah lagi dengan Syarifah Zahrah bin Yahya dan memiliki anak, di antaranya Dr Mufidah yang menikah dengan Dr Ali bin Hasan Al-Jufri, dosen STAIN Al-Khairat. Pasangan dua doktor ini mengasuh pondok putra Al-Khairaat di Dolo. Kemudian menikah lagi dengan Syarifah Umnah Ar-Rumi memiliki empat anak, yaitu Mustafa, Raguan, Raqayah, dan Fathimah.
Bersama dengan istrinya, Syarifah Umnah, sehari-hari Habib Saggaf mengurus toko buku serta beberapa keperluan santri lainnya di Jalan SIS Al-Jufri Palu. Selain sudah sepuh, sehingga tenaganya berkurang, Habib Saggaf masih melayani beberapa pengajian, dan kadang khotbah nikah, serta kegiatan yang ringan di kota Palu. Tentu saja memimpin acara haul Guru Tua pada 12 Syawal, setiap tahun.
Menurut catatan, Habib Saggaf telah menulis dua buku, yaitu: (1) buku yang dipublikasikan habib saggaf: Soal Jawab tentang Umat dan Masalahnya (dua jilid). Anasyid (satu jilid), Kumpulan Mahfuzhat (tiga jilid). Makna Saggaf dalam bahasa Indonesia bisa berarti: atap atau langit-langit rumah, tetapi yang pas adalah pengayom.
Dulu dia menulis untuk surat kabar Al-Khairaat setiap hari untuk rubrik kolom khusus, tetapi sekarang sudah digantikan adiknya. Habib Abdillah bin Muhammad Al-Jufri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar