Kisah Tsabit Bin Ibrahim
Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang
berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat Sebuah apel
jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah
ranum itu tergeletak di tanah membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di
hari yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berpikir panjang
dipungut dan dimakannyalah buah apel yang lezat itu. akan tetapi baru
setengahnya di makan dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia
belum mendapat ijin pemiliknya. Maka ia segera pergi kedalam kebun
buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah yang
telah dimakannya.
Sepotong Roti Penebus dosa
Abu Burdah bin Musa Al-Asy�ari meriwayatkan, bahwa ketika
menjelang wafatnya Abu Musa pernah berkata kepada puteranya: "Wahai
anakku, ingatlah kamu akan cerita tentang seseorang yang mempunyai
sepotong roti."
Dahulu kala di sebuah tempat ibadah ada seorang lelaki yang sangat
tekun beribadah kepada Allah. Ibadah yang dilakukannya itu selama lebih
kurang tujuh puluh tahun. Tempat ibadahnya tidak pernah ditinggalkannya,
kecuali pada hari-hari yang telah dia tentukan. Akan tetapi pada suatu
hari, dia digoda oleh seorang wanita sehingga diapun tergoda dalam bujuk
rayunya dan bergelimang di dalam dosa selama tujuh hari sebagaimana
perkara yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri. Setelah ia sadar,
maka ia lalu bertaubat, sedangkan tempat ibadahnya itu ditinggalkannya,
kemudian ia melangkahkan kakinya pergi mengembara sambil disertai dengan
mengerjakan solat dan bersujud.
Akhirnya dalam pengembaraannya itu ia sampai ke sebuah pondok yang
di dalamnya sudah terdapat dua belas orang fakir miskin, sedangkan
lelaki itu juga bermaksud untuk menumpang bermalam di sana, karena sudah
sangat letih dari sebuah perjalanan yang sangat jauh, sehingga akhirnya
dia tertidur bersama dengan lelaki fakir miskin dalam pondok itu.
Rupanya di samping kedai tersebut hidup seorang pendita yang ada setiap
malamnya selalu mengirimkan beberapa buku roti kepada fakir miskin yang
menginap di pondok itu dengan masing-masingnya mendapat sebuku roti.
Pada waktu yang lain, datang pula orang lain yang membagi-bagikan
roti kepada setiap fakir miskin yang berada di pondok tersebut, begitu
juga dengan lelaki yang sedang bertaubat kepada Allah itu juga mendapat
bahagian, karena disangka sebagai orang miskin. Rupanya salah seorang di
antara orang miskin itu ada yang tidak mendapat bahagian dari orang
yang membahagikan roti tersebut, sehingga kepada orang yang membahagikan
roti itu ia berkata: "Mengapa kamu tidak memberikan roti itu kepadaku."
Orang yang membagikan roti itu menjawab: "Kamu dapat melihat sendiri,
roti yang aku bagikan semuanya telah habis, dan aku tidak membagikan
kepada mereka lebih dari satu buku roti." Mendengar ungkapan dari orang
yang membagikan roti tersebut, maka lelaki yang sedang bertaubat itu
lalu mengambil roti yang telah diberikan kepadanya dan memberikannya
kepada orang yang tidak mendapat bahagian tadi. Sedangkan keesokan
harinya, orang yang bertaubat itu meninggal dunia.
Di hadapan Allah, maka ditimbanglah amal ibadah yang pernah
dilakukan oleh orang yang bertaubat itu selama lebih kurang tujuh puluh
tahun dengan dosa yang dilakukannya selama tujuh malam. Ternyata hasil
dari timbangan tersebut, amal ibadat yang dilakukan selama tujuh puluh
tahun itu dikalahkan oleh kemaksiatan yang dilakukannya selama tujuh
malam. Akan tetapi ketika dosa yang dilakukannya selama tujuh malam itu
ditimbang dengan sebuku roti yang pernah diberikannya kepada fakir
miskin yang sangat memerlukannya, ternyata amal sebuku roti tersebut
dapat mengalahkan perbuatan dosanya selama tujuh malam itu. Kepada
anaknya Abu Musa berkata: "Wahai anakku, ingatlah olehmu akan orang yang
memiliki sebuku roti itu!"
Kisah Wali Allah Yang Sholat Diatas Air
Sebuah kapal yang sarat dengan muatan dan bersama 200 orang
temasuk ahli perniagaan berlepas dari sebuah pelabuhan di Mesir. Apabila
kapal itu berada di tengah lautan maka datanglah ribut petir dengan
ombak yang kuat membuat kapal itu terumbang-ambing dan hampir tenggelam.
Berbagai usaha dibuat untuk mengelakkan kapal itu dipukul ombak ribut,
namun semua usaha mereka sia-sia sahaja. Kesemua orang yang berada di
atas kapal itu sangat cemas dan menunggu apa yang akan terjadi pada
kapal dan diri mereka.
Ketika semua orang berada dalam keadaan cemas, terdapat seorang
lelaki yang sedikitpun tidak merasa cemas. Dia kelihatan tenang sambil
berzikir kepada Allah S.W.T. Kemudian lelaki itu turun dari kapal yang
sedang terunbang-ambing dan berjalanlah dia di atas air dan mengerjakan
solat di atas air.
Beberapa orang peniaga yang bersama-sama dia dalam kapal itu
melihat lelaki yang berjalan di atas air dan dia berkata, "Wahai wali
Allah, tolonglah kami. Janganlah tinggalkan kami!" Lelaki itu tidak
memandang ke arah orang yang memanggilnya. Para peniaga itu memanggil
lagi, "Wahai wali Allah, tolonglah kami. Jangan tinggalkan kami!"
Kemudian lelaki itu menoleh ke arah orang yang memanggilnya dengan
berkata, "Apa hal?" Seolah-olah lelaki itu tidak mengetahui apa-apa.
Peniaga itu berkata, "Wahai wali Allah, tidakkah kamu hendak mengambil
berat tentang kapal yang hampir tenggelam ini?"
Wali itu berkata, "Dekatkan dirimu kepada Allah."
Para penumpang itu berkata, "Apa yang mesti kami buat?"
Wali Allah itu berkata, "Tinggalkan semua hartamu, jiwamu akan selamat."
Kesemua mereka sanggup meninggalkan harta mereka. Asalkan jiwa
mereka selamat. Kemudian mereka berkata, "Wahai wali Allah, kami akan
membuang semua harta kami asalkan jiwa kami semua selamat."
Wali Allah itu berkata lagi, "Turunlah kamu semua ke atas air dengan membaca Bismillah."
Dengan membaca Bismillah, maka turunlah seorang demi seorang ke
atas air dan berjalan meng hampiri wali Allah yang sedang duduk di atas
air sambil berzikir. Tidak berapa lama kemudian, kapal yang mengandungi
muatan beratus ribu ringgit itu pun tenggelam ke dasar laut.
Habislah kesemua barang-barang perniagaan yang mahal-mahal terbenam
ke laut. Para penumpang tidak tahu apa yang hendak dibuat, mereka
berdiri di atas air sambil melihat kapal yang tenggelam itu.
Salah seorang daripada peniaga itu berkata lagi, "Siapakah kamu wahai wali Allah?"
Wali Allah itu berkata, "Saya adalah Awais Al-Qarni."
Peniaga itu berkata lagi, "Wahai wali Allah, sesungguhnya di dalam
kapal yang tenggelam itu terdapat harta fakir-miskin Madinah yang
dihantar oleh seorang jutawan Mesir."
WaliAllah berkata, "Sekiranya Allah kembalikan semua harta kamu,
adakah kamu betul-betul akan membahagikannya kepada orang-orang miskin
di Madinah?"
Peniaga itu berkata, "Betul, saya tidak akan menipu, ya wali Allah."
Setelah wali itu mendengar pengakuan dari peniaga itu, maka dia pun
mengerjakan solat dua rakaat di atas air, kemudian dia memohon kepada
Allah S.W.T agar kapal itu ditimbulkan semula bersama-sama hartanya.
Tidak berapa lama kemudian, kapal itu timbul sedikit demi sedikit
sehingga terapung di atas air. Kesemua barang perniagaan dan lain-lain
tetap seperti asal. Tiada yang kurang.
Setelah itu dinaikkan kesemua penumpang ke atas kapal itu dan
meneruskan pelayaran ke tempat yang dituju. Apabila sampai di Madinah,
peniaga yang berjanji dengan wali Allah itu terus menunaikan janjinya
dengan membahagi-bahagikan harta kepada semua fakir miskin di Madinah
sehingga tiada seorang pun yang tertinggal. Wallahu a�alam.
Sahabat Aneh
Pulang kampung setelah lima tahun di rantau menuntut ilmu, memberi
warna tersendiri dalam hati. Dengan mengantongi ijazah sarjana,
Khairul Huda, Pulang kampung setelah lima tahun di rantau menuntut
ilmu, memberi warna tersendiri dalam hati. Dengan mengantongi ijazah
sarjana, aku melangkah tegap menuju bus yang akan membawaku ke Doro,
sebuah kota kecamatan kecil 20 km di sebelah selatan Pekalongan.
Bus Binatur yang kutumpangi berjalan lambat keluar terminal. Tidak
hanya sekali dua bus berhenti untuk menaik-turunkan penumpang. Bahkan
beberapa kali bus malah berjalan mundur, masuk ke jalan desa, menjemput
penumpang yang hampir terlewat.
Sampai di perempatan Karangdadap langit gelap. Sesaat kemudian
turun hujan. Kuedarkan pandang ke luar jendela. Lewat kaca bus yang
buram, kulihat butiran mutiara itu berlomba turun menjejak ke bumi.
Banyak rumah baru berdiri di sepanjang pundak jalan yang tidak seberapa
luas.
Sejam kemudian, tepat pukul 12.00 siang, bus sampai di depan Pasar
Doro. Di kota kecil ini tak ada terminal bus, yang ada hanyalah terminal
colt angkutan pedesaan. Itu pun tak seluruh colt masuk ke terminal.
Banyak di antaranya yang nge-tem di depan pasar sebelah barat, berbaur
jadi satu dengan bus yang akan datang.
"Masih seperti dulu," gumamku membatin, ketika melihat sebuah colt
jurusan Karanganyar berangkat. Ya, masih seperti dulu. Colt berangkat
dengan penumpang yang berjejal sesak. Dari belakang yang terlihat
jajaran orang bergelantungan rapat membentuk teralis menutupi bagian
belakang mobil. Dan kalau belum mendapat penumpang yang rapat seperti
itu, colt memang belum mau berangkat. Padahal itu sungguh membahayakan
keselamatan penumpang.
Aku menarik napas untuk melonggarkan dadaku yang sesak. Dengan
jilbabku yang bersih ini, aku pun akan berimpit seperti mereka. Berdesak
dengan orang, barang belanjaan, dan ayam. Sudah tercium olehku keringat
bercampur kubis busuk, tai ayam, dan aroma parfum yang tajam menusuk.
Seperti itulah kalau perjalanan kita lekas sampai, karena jumlah
angkutan di sini sangat terbatas.
Colt jurusan Lemahabang yang kutumpangi hampir penuh. Beruntung aku
mendapat tempat duduk di depan, di ruang kemudi. Meski sesak juga, tapi
tak separah seperti duduk di belakang. Lumayanlah. Tapi harap diingat,
mendapat tempat duduk di ruang sopir, harus berani membayar lebih,
karena lebih nyaman, maka ruang sopir ini banyak diperebutkan.
Calo sudah memintai ongkos para penumpang. Berarti colt sudah penuh dan siap berangkat. Aku bernapas lega.
Pak sopir masuk ruang kemudi, lalu menghidupkan mesin. Saat itu
melintas sebuah bayangan yang sudah sangat kukenal, di depan colt. Aku
masih mengingatnya dengan baik, itu adalah bayangan Silva, taman
sekampung, teman masa kecil, teman sepermainanku dulu. Kalau ia mau
pulang, kenapa tidak naik colt ini? Dorongan rasa kangen pada sahabat
telah mengalahkan kepentinganku untuk cepat-cepat sampai di rumah.
"Sebentar, Pak Sopir," pintaku pada sopir yang sudah memasukan
perseneling ke gigi satu. Lalu begitu saja aku turun dari mobil,
mengejar Silva.
Terdengar teriakan sopir di belakang, "Cepat, Dik!"
Sekilas aku menoleh seraya melambaikan tangan menyuruhnya pergi. Sopir maklum, colt itu pun berangkat.
Aku berhasil mengejar Silva. Kujajari langkahnya.
"Mau kemana?" tanyaku.
Silva menoleh, tersenyum. Wajah dan bibirnya tampak pucat, tapi kakinya melangkah ke arah timur.
"Mestinya kamu bersama saya naik colt yang tadi. Kamu sudah tahu
kan, selepas colt tadi belum tentu ada colt berikutnya yang bisa membawa
kita pulang? Sudah siang begini tak ada lagi orang berpergian. Anak
sekolah dan ibu-ibu yang belanja sudah pada pulang. Kita pertaruhkan
pada nasib baik untuk bisa pulang hari ini."
Silva tak berkomentar. Kucoba menggandeng tangannya. Dingin. "Kamu sakit? Mau periksa? Okelah, aku menemanimu."
Melewati sebuah jembatan kecil, Silva belok ke kiri.
"Lho, kalau mau periksa ke tempat dr. Lestari, beloknya ke kanan,
dong?!" protesku. Silva tak menanggapi protesku. Ia terus saja
melangkah.
"Baiklah, kuikuti kamu," kataku, menyerah. "Seandainya nanti tidak
mendapat colt pulang, toh ada kamu. Kita bisa pulang jalan kaki bersama.
Kami lewat di depan KUA. Ke utara sedikit, ada masjid di sisi barat
jalan, menghadap ke timur. Silva membelokkan langkahnya ke sana.
"Oh, kamu mengajakku salat dulu? Baiklah. Sekarang memang sudah
hampir jam satu," kataku, setelah melirik arloji di pergelangan
tanganku.
Aku mendahului Silva melepas sepatu, terus ke kamar kecil. Setelah
itu mengambil wudhu dan salat Zuhur lebih dahulu, karena Silva tak
tampak bayangannya. Kupikir ia sedang berada di kamar kecil.
Kemana sih, dia? Diikuti kok malah menghilang? gerutuku sendirian, sambil mengenakan sepatu bersiap meninggalkan masjid.
Aku kembali ke depan pasar mencari angkutan. Suatu kebetulan, ada
serombongan orang yang hendak berziarah ke makam Syeh Siti Jenar di
Lemahabang. Mereka mendapatkan colt dan aku mengikuti saja. Tampaknya
rombongan itu membayar lebih, sehingga tak usah menunggu penumpang
berdesak. Alhamdulillah.
Mobil yang kami tumpangi bergerak ke arah barat setengah kilo, lalu
berbelok ke selatan. Dan mulailah perjalanan yang penuh risiko. Karena
colt mesti melewati jalan berbatu tidak rata, dengan medan yang terus
menanjak. Badan colt bergerak seperti layaknya tubuh mentok. Merangkak
tertatih, megal-megol, oleng ke kiri dan ke kanan, kepalanya
mengangguk-angguk.
Setelah lepas empat puluh lima menit, colt yang sudah bergerak
pelan, terasa semakin memperlambat lajunya. Kami saling bertatapan. Ada
apa? Serentak kami arahkan pandangan ke depan. Ada sekerumunan orang
memenuhi jalan di depan. Colt berhenti. Kami turun untuk mencari tahu.
Ternyata ada colt jatuh ke jurang! Sebagian penumpangnya tewas,
sebagian yang lain luka-luka. Mereka sedang dievakuasi. Dan itu adalah
colt yang hendak kutumpangi tadi, tapi tidak jadi!
Aku tertunduk lemas. Tak henti-hentinya kusebut kebesaran nama-Nya.
Pandanganku yang kabur oleh airmata, menangkap tubuh-tubuh yang
berlumpur dan berlumur darah terkulai. Pecahan kaca yang berserakan.
Mobil yang ringsek. Wajah-wajah yang basah oleh airmata. Telingaku
menangkap raungan tangis tak beraturan dari mereka yang masih bisa
menagis. Allah Mahabesar.
"Dik, naik lagi. Kita teruskan perjalanan," kata sebuah suara.
Kuusap mataku dengan punggung tangan. Tanpa suara kuikuti laki-laki
yang berkata tadi. Lalu kami masuk kembali ke colt untuk meneruskan
perjalanan.
Begitu sampai di rumah, setengah berlari aku menuju ke rumah Silva.
Dia sendiri yang membukakan pintu. Serentak melihat bayangannya,
langsung kutubruk dan kupeluk ia. Tangisku pun tumpah di pundaknya.
Silva balas memeluk.
"Tenanglah...," bisiknya lembut dekat telingaku. Dipapahnya tubuhku
menuju ke kamarnya. Setelah meminum air putih pemberian Silva, aku
sedikit lebih tenang. Lalu kuceritakan semua kepadanya. Tentang
pertemuanku dengannya di depan pasar. Tentang salatku di masjid. Juga
tentang colt yang tak jadi kutumpangi dan ternyata mendapat
kecelakaan...
"Kuminta jawablah pertanyaanku dengan jujur. Di mana saja kamu seharian ini?"
"Seharian ini aku hanya di rumah, tidak pergi ke mana-mana.
Sungguh! Kalau tak percaya, tanya Ibu,"kata Silva, serius. "Sejak pagi
sampai menjelang Zuhur, aku di sawah bersama Ibu, matun padi. Pulang
dari sawah aku mampir ke pancuran, bersih-bersih sekalian ambil air
wudhu. Setelah salat dan makan, istirahat sambil membaca-baca. Lalu kamu
datang," jalas Silva runut.
"Aku percaya. Lantas, siapa gadis mirip kamu yang kutemukan di depan pasar?"
Kami saling berdiam diri, digayuti oleh pikiran masing-masing.
Dan aku percaya, Allah memang sengaja menyelamatkanku dengan
cara-Nya sendiri. Terima kasih, ya Allah, atas pertolongan-Mu. Tak
henti-hentinya kusebut nama-Nya.
Pengantin Baru Masuk Syurga
Pada suatu hari laki-laki bernama Julaibiib menghadap Rasulallah Saw. Julaibiib adalah orang yang sangat melarat.
Dia bertanya: “Ya Rasulallah! Jika aku mati dalam keadaanku yang beriman ini apakah Allah SWT akan memasukkan aku ke dalam surga dan mengawainkan aku dengan bidadari?
Dia bertanya: “Ya Rasulallah! Jika aku mati dalam keadaanku yang beriman ini apakah Allah SWT akan memasukkan aku ke dalam surga dan mengawainkan aku dengan bidadari?
“Ya tentu, insya Allah!”jawab Rasulallah Saw. “Mengapa
sahabat-sahabat Tuan setiap yang aku lamar puterinya, semua menolak dan
tidak menikahkan puterinya denganku?” tanya Julaibiib lagi.
“Pergilah kamu ke rumah keluarga fulan dan katakanlah kepadanya
bahwa Rasulallah Saw memerintahkan kepada Anda agar menikahkan puterinya
kepadaku,”jawab Rasulallah.
Keluarga itu pun akhirnya sepakat untuk menikahkan Julaibiib dengan
putri mereka. Akan tetapi sebelum Julaibiib sempat masuk ke kamar
pengantin, dia mendengar panggilan masuk berjihad. Maka dia pun lari dan
bergabung dengan pasukan perang.
Ketika perang telah usai, Rasulallah Saw bertanya kepada para
sahabat: “Siapa diantara kawan-kawan kalian yang sekarang tidak tampak
dan mugkin menjadi syahid?” Para sahabat pun menyebutkan beberapa nama,
tetapi tidak menyebut nama Julaibiib karena dia belum banyak dikenal.
Lalu Rasulallah Saw bersabda: “Apakah aku justru kehilangan Julaibiib, marilah kita bersama mencarinya!”
Akhirnya, Rasulallah Saw menemukan jasad Julaibiib tergeletak mati sebagai syahid di tengah tujuh mayat orang kafir yang baru dilawannya. Lalu Rasulallah Saw pun duduk di samping jasad Julaibiib dan mengangkat kepalanya ke pangkuan beliau sambil menangis. Tetapi sesaat kemudian beliau tersenyum dan memalingkan wajahnya. Maka para sahabat pun bertanya: “Sungguh aneh sekali keadaan Tuan, ya Rasulallah! Tuan menangis lalu tersenyum dan memalingkan wajah Tuan?”
Rasulallah bersabda: “Ya, aku menangis karena perpisahan dengan
saudaraku ini, dan aku tersenyum ketika Allah memperlihatkan kepadaku
tempatnya di surga. Aku palingkan wajahku ketika aku melihat istrinya,
seorang bidadari dari suraga, aku turun ke bumi lalu masuk di antara
kulit dan bajunya, kemudian mengakatnya ke surga di haribaan-Nya, di
alam kelanggengan.” (HB)Akhirnya, Rasulallah Saw menemukan jasad Julaibiib tergeletak mati sebagai syahid di tengah tujuh mayat orang kafir yang baru dilawannya. Lalu Rasulallah Saw pun duduk di samping jasad Julaibiib dan mengangkat kepalanya ke pangkuan beliau sambil menangis. Tetapi sesaat kemudian beliau tersenyum dan memalingkan wajahnya. Maka para sahabat pun bertanya: “Sungguh aneh sekali keadaan Tuan, ya Rasulallah! Tuan menangis lalu tersenyum dan memalingkan wajah Tuan?”
Mengawasi pintu Supaya Tidak Ada Pencuri
Suatu hari Nasrudin kecil ditinggal ibunya untuk pergi ke rumah
Ibu RT. Sebelum pergi ibunya berkata kepada Nasrudin, “Nasrudin, kalau
kamu sedang sendirian di rumah, kamu harus selalu mengawasi pintu rumah
dengan penuh kewaspadaan. Jangan biarkan seorang pun yang tidak kamu
kenal masuk ke dalam rumah karena bisa saja mereka itu ternyata
pencuri!”
Nasrudin memutuskan untuk duduk di samping pintu. Satu jam kemudian pamannya datang. “Mana ibumu?” tanya pamannya.
“Oh, Ibu sedang pergi ke pasar,” jawab Nasrudin.
“Keluargaku akan datang ke sini sore ini. Pergi dan katakan kepada Ibumu jangan pergi ke mana-mana sore ini!” kata pamannya.
Begitu pamannya pergi Nasrudin mulai berpikir, “Ibu menyuruh aku untuk mengawasi pintu. Sedangkan Paman menyuruhku pergi untuk mencari Ibu dan bilang kepada Ibu kalau keluarga Paman akan datang sore ini.”
Setelah bingung memikirkan jalan keluarnya, Nasrudin akhirnya membuat satu keputusan. Dia melepaskan pintu dari engselnya, menggotongnya sambil pergi mencari ibunya.
Nasrudin memutuskan untuk duduk di samping pintu. Satu jam kemudian pamannya datang. “Mana ibumu?” tanya pamannya.
“Oh, Ibu sedang pergi ke pasar,” jawab Nasrudin.
“Keluargaku akan datang ke sini sore ini. Pergi dan katakan kepada Ibumu jangan pergi ke mana-mana sore ini!” kata pamannya.
Begitu pamannya pergi Nasrudin mulai berpikir, “Ibu menyuruh aku untuk mengawasi pintu. Sedangkan Paman menyuruhku pergi untuk mencari Ibu dan bilang kepada Ibu kalau keluarga Paman akan datang sore ini.”
Setelah bingung memikirkan jalan keluarnya, Nasrudin akhirnya membuat satu keputusan. Dia melepaskan pintu dari engselnya, menggotongnya sambil pergi mencari ibunya.
Kisah Pria Yang Bosan Hidup
Seorang pria setengah baya mendatangi seorang guru ngaji,
“Ustad, saya sudah bosan hidup. Sudah jenuh betul. Rumah tangga saya
berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu
berantakan. Saya ingin mati.”
Sang Ustad pun tersenyum, “Oh, kamu sakit.”
“Tidak Ustad, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati.”
Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Ustad meneruskan,
“Kamu sakit. Dan penyakitmu itu sebutannya, ‘Alergi Hidup’. Ya, kamu
alergi terhadap kehidupan.”
Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan.
Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan mengalir
terus, tetapi kita menginginkan status-quo. Kita berhenti di tempat,
kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang
penyakit. Resistensi kita, penolakan kita untuk ikut mengalir bersama
kehidupan membuat kita sakit. Yang namanya usaha, pasti ada
pasang-surutnya. Dalam hal berumah-tangga,bentrokan-bentrokan kecil itu
memang wajar, lumrah. Persahabatan pun tidak selalu langgeng, tidak
abadi. Apa sih yang langgeng, yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak
menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan.
Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.
“Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku.” demikian ujar sang Ustad.
“Tidak Ustad, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup.” pria itu menolak tawaran sang Ustad.
“Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?”
“Ya, memang saya sudah bosan hidup.”
“Baik, besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Setengah
botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok sore jam enam, dan
jam delapan malam kau akan mati dengan tenang.”
Giliran dia menjadi bingung. Setiap Ustad yang ia datangi selama
ini selalu berupaya untuk memberikannya semangat untuk hidup. Yang satu
ini aneh. Ia bahkan menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah
betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.
Pulang kerumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang
disebut “obat” oleh Ustad edan itu. Dan, ia merasakan ketenangan
sebagaimana tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu
santai! Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan
dari segala macam masalah.
Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di
restoran masakan Jepang. Sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan
selama beberapa tahun terakhir. Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin
meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya
santai banget! Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan membisiki
di kupingnya, “Sayang, aku mencintaimu.” Karena malam itu adalah malam
terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!
Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar.
Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan
jalan pagi. Pulang kerumah setengah jam kemudian, ia menemukan istrinya
masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2
cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi
itu adalah pagi terakhir,ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang
istripun merasa aneh sekali, “Mas, apa yang terjadi hari ini? Selama
ini, mungkin aku salah. Maafkan aku, mas.”
Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, “Hari ini, Bos kita kok aneh ya?”
Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut.
Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan
manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah
dan lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap pendapat-pendapat yang
berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.
Pulang kerumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya
di beranda depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman
kepadanya, “Mas, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu
merepotkan kamu.” Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, “Ayah, maafkan
kami semua. Selama ini, ayah selalu stres karena perilaku kami semua.”
Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup
menjadi sangat indah. Ia membatalkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi
bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya?
” Ya Allah, apakah maut akan datang kepadaku. Tundalah kematian itu
ya Allah. Aku takut sekali jika aku harus meninggalkan dunia ini ”.
Ia pun buru-buru mendatangi sang Ustad yang telah memberi racun
kepadanya. Sesampainya dirumah ustad tersebut, pria itu langsung
mengatakan bahwa ia akan membatalkan kematiannya. Karena ia takut sekali
jika ia harus kembali kehilangan semua hal yang telah membuat dia
menjadi hidup kembali.
Melihat wajah pria itu, rupanya sang Ustad langsung mengetahui apa
yang telah terjadi, sang ustad pun berkata “Buang saja botol itu. Isinya
air biasa. Kau sudah sembuh, Apa bila kau hidup dalam kekinian, apabila
kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja,
maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. Leburkan egomu,
keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan
mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan
bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci
kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan.”
Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Ustad, lalu
pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Ah,
indahnya dunia ini……
Kisah Seorang Kyai Yang Mencari Jodoh
Kiai Marwan, adalah seorang kiai dari Nganjuk. Kiai ini sudah
hampir mendekati lima puluh tahun usianya, tetapi masih membujang.
Keinginan untuk berkonsentrasi sebagai Kiai tanpa menghiraukan urusan
dunia termasuk wanita, membuatnya menjadi bujang lapuk. Tapi soal
kebutuhan penyaluran syahwat, tetap saja mengusik setiap hari. Apalagi
kalau ia berfikir, siapa nanti yang meneruskan pesantrennya kalau ia
tidak punya putra ?
Dengan segala kejengkelan pada diri sendiri dan gemuruh jiwanya,
akhirnya Kiai Marwan melakukan istikhoroh, mohon petunjuk kepada Allah,
siapa sesungguhnya wanita yang menjadi jodohnya?
Petunjuk yang muncul dalam istikhoroh, adalah agar Kiai Marwan
mendatangi sebuah komplek pelacuran terkenal di daerahnya. “Disanalah
jodoh anda nanti…” kata suara/tanda isyarat dalam istikhoroh itu.
Tentu saja Kiai Marwan menangis tak habis-habisnya, setengah
memprotes Tuhannya. Kenapa ia harus berjodoh dengan seorang pelacur ?
Bagaimana kata para santri dan masyarakat sekitar nanti, kalau Ibu
Nyainya justru seorang pelacur? “Ya Allah…! Apakah tidak ada perempuan
lain di dunia ini ?”
Dengan tubuh yang gontai, layaknya seorang yang sedang mabuk, Kiai
Marwan nekad pergi ke komplek pelacuran itu. Peluhnya membasahi seluruh
tubuhnya, dan jantungnya berdetak keras, ketika memasuki sebuah warung
dari salah satu komplek itu. Dengan kecemasan luar biasa, ia memandang
seluruh wajah pelacur di sana, sembari menduga-duga, siapa diantara
mereka yang menjadi jodohnya.
Dalam keadaan tak menentu, tiba-tiba muncul seorang perempuan muda
yang cantik, berjilbab, menenteng kopor besar, memasuki warung yang
sama, dan duduk di dekat Kiai Marwan. “Masya Allah, apa tidak salah
perempuan cantik ini masuk ke warung ini?” kata benaknya.
“Mbak, maaf, Mbak. Mbak dari mana, kok datang kemari ? Apa Mbak
tidak salah alamat ?” tanya Kiai Marwan pada perempuan itu. Perempuan
itu hanya menundukkan mukanya. Lama-lama butiran airmatanya mulai
mengembang dan menggores pipinya. Sambil menatap dengan mata kosong,
perempuan itu mulai mengisahkan perjalanannya, hingga ke tempat
pelacuran ini. Singkat cerita, perempuan itu minggat dari rumah orang
tuanya, memang sengaja ingin menjadi pelacur, gara-gara ia dijodohkan
paksa dengan pria yang tidak dicintainya.
“Masya Allah…. Masya Allah… Mbak.. Begini saja Mbak, Mbak ikut saya
saja .…” kata Kiai Marwan, sambil mengisahkan dirinya sendiri, kenapa
ia pun juga sampai ke tempat pelacuran itu. Dan tanpa mereka sadari,
kedua makhluk itu akhirnya sepakat untuk berjodoh.
Kisah tentang kiai Marwan ini sesungguhnya merupakan refleksi dari
rahasia Allah yang hanya bisa difahami lebih terbuka dari dunia Sufi.
Hal ini menggambarkan bagaimana dunia jiwa, dunia moral, dunia
keindahan dan kebesaran Ilahi, harus direspon tanpa harus ditimbang oleh
fakta-fakta normatif sosial yang terkadang malah menjebak moral seorang
hamba Allah.
Sebab tidak jarang, seorang Kiai, sering mempertaruhkan harga
dirinya di depan pendukungnya, ketimbang mempertaruhkan harga dirinya di
depan Allah. Dan begitulah cara Allah menyindir para Kiai, dengan
menampilkan Kiai Marwan ini.