ads

8 Okt 2015

Dalil Membaca al-Quran di Kuburan


inilah Dalil Membaca al-Quran di Kuburan
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ (رواه الطبراني في الكبير رقم 13613 والبيهقي في الشعب رقم 9294 وتاريخ يحي بن معين 4 / 449) "Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah dimakamkan. Dan hendaklah di dekat kepalanya dibacakan pembukaan al-Quran (Surat al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan penutup surat al-Baqarah di kuburnya"
(HR al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 13613, al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya bin Maid 4/449) Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis tersebut:
فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِي بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (فتح الباري لابن حجر 3 / 184) "HR al-Thabrani dengan sanad yang hasan" (Fath al-Bari III/184)
Membaca al-Quran di kuburan sudah diamalkan sejak masa sahabat:
عَنْ عُمَرَ قَالَ : اُحْضُرُوْا أَمْوَاتَكُمْ فَأَلْزِمُوْهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَغْمِضُوْا أَعْيُنَهُمْ إِذَا مَاتُوْا وَاقْرَؤُوْا عِنْدَهُمُ الْقُرْآنَ (أخرجه عبد الرزاق رقم 6043 وابن أبى شيبة رقم 10882)
“Diriwayatkan dari Umar: Datangilah orang yang akan meninggal, bacakan mereka Lailaha illallah, pejamkan matanya jika mereka meninggal, dan bacakan al-Quran di dekatnya” (Abdurrazzaq No 6043 dan Ibnu Abi Syaibah No 10882) وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشُّعْبِي قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اِخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ (الروح : 11)
“al-Khallal menyebutkan dari Syu’bi bahwa sahabat Anshar jika diantara mereka ada yang meninggal, maka mereka bergantian ke kuburnya membaca al-Quran” (Ibnu Qayyim, al-Ruh: 11) Imam al-Nawawi mengutip kesepakatan ulama Syafi'iyah tentang membaca al-Quran di kuburan: وَيُسْتَحَبُّ (لِلزَّائِرِ) اَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ (المجموع شرح المهذب للشيخ النووي 5 / 311)
"Dan dianjurkan bagi peziarah untuk membaca al-Quran sesuai kemampuannya dan mendoakan ahli kubur setelah membaca al-Quran. Hal ini dijelaskan oleh al-Syafi'i dan disepakati oleh ulama Syafi'iyah" (al-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab V/311) Di bagian lagi Imam Nawawi juga berkata: قَالَ الشَّافِعِي وَاْلأَصْحَابُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَؤُوْا عِنْدَهُ شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ قَالُوْا فَإِنْ خَتَمُوْا الْقُرْآنَ كُلَّهُ كَانَ حَسَنًا (الأذكار النووية 1 / 162 والمجموع للشيخ النووي 5 / 294)
"Imam Syafii dan ulama Syafi'iyah berkata: Disunahkan membaca sebagian dari al-Quran di dekat kuburnya. Mereka berkata: Jika mereka mengkhatamkan al-Quran keseluruhan, maka hal itu dinilai bagus" (al-Adzkar I/162 dan al-Majmu' V/294) Murid Imam Syafi'i yang juga kodifikator Qaul Qadim, al-Za'farani, berkata: وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحُ الزَّعْفَرَانِي سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ اْلقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا (الروح لابن القيم 1 / 11)
"Al-Za'farani (perawi Imam Syafii dalam Qaul Qadim) bertanya kepada Imam Syafii tentang membaca al-Quran di kuburan. Beliau menjawab: Tidak apa-apa" (al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11) Al-Hafidz Ibnu Hajar mengomentari riwayat al-Za'farani dari Imam Syafi'i ini:
وَهَذَا نَصٌّ غَرِيْبٌ عَنِ الشَّافِعِي وَالزَّعْفَرَانِي مِنْ رُوَاةِ الْقَدِيْمِ وَهُوَ ثِقَةٌ وَإِذَا لَمْ يَرِدْ فِي الْجَدِيْدِ مَا يُخَالِفُ مَنْصُوْصَ الْقَدِيْمِ فَهُوَ مَعْمُوْلٌ بِهِ (الإمتاع بالأربعين المتباينة السماع للحافظ أحمد بن علي بن محمد بن علي بن حجر العسقلاني 1 / 85)
"Ini penjelasan yang asing dari al-Syafi'i. Al-Za'farani adalah perawi Qaul Qadim, ia orang terpercaya. Dan jika dalam Qaul Jadid tidak ada yang bertentangan dengan penjelasan Qaul Qadim, maka Qaul Qadim inilah yang diamalkan (yaitu boleh membaca al-Quran di kuburan)" (al-Imta', Ibnu Hajar, I/11)
صيد الخاطر للحافظ ابن الجوزي (ص: 96، بترقيم الشاملة آليا) فَهَذَا مَعْرُوْفٌ، كَانَ مُنْفَرِداً بِرَبِّهِ طَيِّبَ الْعَيْشِ مَعَهُ لَذِيْذَ الْخَلْوَةِ بِهِ. ثُمَّ قَدْ مَاتَ مُنْذُ نَحْوِ أَرْبَعِمِائَةِ سَنَةٍ فَمَا يَخْلُوْ أَنْ يُهْدَي إِلَيْهِ كُلَّ يَوْمٍ مَا تَقْدِيْرُ مَجْمُوْعِهِ أَجْزَاءٌ مِنَ الْقُرْآنِ. وَأَقَلُّهُ مَنْ يَقِلُّ عَلَى قَبْرِهِ فَيَقْرَأُ: " قُلْ هُوَ اللّهُ أَحَدٌ " ، وَيَهْدِيْهَا لَهُ. وَالسَّلاَطِيْنُ تَقِفُ بَيْنَ يَدَيْ قَبْرِهِ ذَلِيْلَةً. هَذَا بَعْدَ الْمَوْتِ، ويوم الحشر تنشر الكرامات التي لا توصف، وكذلك قبور العلماء المحققين.
Al-Hafidz Ibnu al-Jauzi al-Hanbali: “Sejak Ma’ruf al-Karakhi wafat tahun 200 H, tiap hari, mendapat kiriman hadiah pahala bacaan berjuz-juz al-Qur’an, minimal orang berdiri di pinggir makamnya dan membacakan surat al-Ikhlash untuknya.” Membaca al-Quran di kuburan juga diamalkan sejak generasi ulama salaf:
تاريخ بغداد للحافظ الخطيب البغداجي (1/ 122) أخبرني أبو إسحاق إبراهيم بن عمر البرمكي قال نبأنا أبو الفضل عبيد الله بن عبد الرحمن بن محمد الزهري قال سمعت أبي يقول قَبْرُ مَعْرُوْفٍ اْلكَرَخِي مُجَرَّبٌ لِقَضَاءِ الْحَوَائِجِ وَيُقَالُ إِنَّهُ مَنْ قَرَأَ عِنْدَهُ مِائَةَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَسَأَلَ اللهَ تَعَالَى مَا يُرِيْدُ قَضَى اللهُ لَهُ حَاجَتَهُ Tradisi membaca surat al-Ikhlash 100 kali, di makam Ma’ruf al-Karakhi (wafat th 200 H) berlangsung sejak generasi salaf untuk terkabulnya hajat (al-Hafidz Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad)
سير أعلام النبلاء للحافظ الذهبي (18/ 546) 276 - أبو جعفر الهاشمي * الامام، شيخ الحنبلية، .... فَمَاتَ هُنَاكَ، وَكَانَتْ جَنَازَتُهُ مَشْهُوْدَةً، وَدُفِنَ إِلَى جَانِبِ قَبْرِ اْلاِمَامِ أَحْمَدَ، وَلَزِمَ النَّاسُ قَبْرَهُ مُدَّةً حَتَّى قِيْلَ: خُتِمَ عَلَى قَبْرِهِ عَشْرَةُ آلاَفٍ خَتْمَةً ( المنتظم " 8 / 316 - 317، و " ذيل طبقات الحنابلة " 1 / 17 و 22 و 23، و " البداية والنهاية " 12 / 129)
Ketika al-Imam Abu Ja’far al-Hasyimi, guru besar madzhab Hanbali, wafat tahun 470 H, kaum Hanabilah membaca al-Qur’an di makamnya sampai hatam 10.000 kali (al-Hafidz adz-Dzahabi, al-Hafidz Ibnu Katsir Dll) Begitu pula ketika Ibnu Taimiyah wafat, di kuburnya dibacakan al-Quran
البداية والنهاية (14/ 156) ابن كثير القرشي (700 - 774هـ). وختمت له ختمات كثيرة بالصالحية وبالبلد، وتردد الناس إلى قبره أياما كثيرة ليلا ونهارا يبيتون عنده ويصبحون، ورئيت له منامات صالحة كثيرة، ورثاه جماعة بقصائد جمة .
“Ibnu Taimiyah dikhatamkan bacaan al-Quran berkali-kali baik di makamnya atau di kota. Orang-orang mondar-mandir ke kuburnya berkali-kali selama beberapa hari yang lama, malam atau siang. Mereka menginap di dekat kuburnya sampai Subuh. Mereka menjumpai mimpi-mimpi yang baik tentang Ibnu Taimiyah, dan para jamaah melantunkan kasidah yang beraneka ragam" Dari Dalil-Dalil diatas dan amaliyah Ulama, Khususnya ahli hadis, adakah yang menyatakan membaca al-Quran di Kuburan Sebagai Kesyirikan? Atau adakah larangannya dari dalil agama?

Hukum Menambahkan Nama Suami Setelah Nama Istri



Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”[HR. Bukhari, Shahih Bukhari Kitab Faraid, Bab “Barang siapa yang menisbatkan kepada selain bapaknya” jilid 4 hal 15 hadits no. 6766. dan Muslim]

وقال صلى الله عليه وسلم : ( مَنْ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ .. فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْ2599)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya, maka baginya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya.” (HR Ibnu Majah)
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ، وَمَنِ ادَّعَى مَا ليْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا، وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Tidaklah seseorang menyandarkan nasab kepada selain ayahnya, sedang dia mengetahuinya, melainkan dia telah kafir. Barang siapa yang mengaku-ngaku sesuatu yang bukan haknya maka dia bukan dari golongan kami, dan hendaklah ia bersiap-siap untuk menempati tempat duduknya di Neraka. Barang siapa yang memanggil seseorang dengan kafir atau dia berkata : ‘Hai musuh Allah!’ padahal orang itu tidak demikian, niscaya ucapannya itu kembali kepada dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘alaih. Ini adalah lafazh Muslim)
Dari Watsilah bin al-Asqa’, Rasulullah saw. bersabda, “Termasuk kedustaan terbesar adalah menisbatkan seseorang kepada selain ayahnya…” (HR. Bukhari).

عن ابي ذار رضي الله عنه سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من ادعى الى غير ابيه وهو يعلمه الا كفر
Dari Abu Dzar r.a. bahwa ia pernah mendengar Nabi Sا. bersabda, “Tidaklah seseorang itu memanggil orang lain dengan nama selain ayahnya melainkan ia telah kufur.” (HR. Bukhari)
Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa, seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain ayah kandunganya, apabila ia tahu siapa ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz “fal jannatu „alaihi haramum“. Orang yang tidak boleh masuk surga adalah orang yang berdosa. Jadi apabila seseorang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa, sehingga diharamkan untuknya surga.
Islam telah mengharamkan untuk menyebut nama ayah angkat di belakang nama seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan di dalam Al-Quran keharaman hal ini :

ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Panggilah mereka dengan nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab :5)
Jelaslah sudah bahwa larangan menambahkan nama nasab (bin/binti) selain nasabnya sendiri melalui penjelasan diatas , lantas bagaimana jika menambahkan nama suami dibelakang nama istri?

Jika kita cermati ayat maupun hadits-hadits diatas sebenarnya tidak ada berhubungan dengan menambah nama suami di belakang nama istri. ,yang dimaksud ayat dan hadits diatas adalah pembahasan tentang mengadopsi anak dan kemudian anak itu dinisbahkan sebagai anak sendiri dan ayah sendiri.hukum menisbahkan seperti inilah yang tidak diperbolehkan.

Jadi pelarangan didalam hadits-hadits diatas itu apabila dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan sebagai anak, seperti contoh kata: anak,bin, binti dan lain sebagainya, yang dilarang bukan seluruh penisbatan atau penyebutan identitas. Penggunaan kata-kata tertentu untuk menjelaskan identitas seseorang sehingga menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat atau waktu tertentu adalah tidak apa-apa selama tidak menyeret pada kesalahpahaman adanya hubungan kekerabatan yang dilarang oleh syariat Islam.

Kesimpulannya :Yang tidak boleh adalah menisbatkan/menasabkan pada selain ayah. Adapun penambahan nama suami dibelakang nama istri bukan yg dimaksud dalam pelarangan ini.
Semoga kita selalu mendapatkan lindungan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dari berbagai permasalahan yang tidak benar dan semoga Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang tidak tahu.
Wallahu a’lam bis-Shawab

1 Okt 2015

Habib Saggaf Aljufri, Sang Nahkoda Al-Khairaat



Habib Saggaf bin Muhammad Al-Jufri, Ketua Utama Al-Khairat Palu, namanya dikenal luas di kalangan ulama maupun umara. Habib sepuh yang kini menginjak umur 76 tahun ini, merupakan salah satu habib yang dihormati di kalangan umat maupun masyarakat. Tak sungkan-sungkan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali mendiskusikan soal aliran Islam Sunni dan Syiah ketika muncul terkait maraknya pertentangan Islam Sunni-Syiah pascaperistiwa bentrok yang menewaskan seorang warga di Sampang, Madura, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Begitu juga ketika berkunjunga ke Palu, mantan Ketua Mahkamh Konstitusi RI DR.Hamdan Zoelva, SH,MH didampingi Ketua KPU Provinsi Sulawesi Tengah Sahran Raden, S.Ag,SH,MH melakukan kunjungan silahrutahmi kepada Habib Saggaf Aldjufri di kediamannya Jl. SIS Aljufri Lorong 1 Palu. Hamdan Zoelva perlu memperkenalkan diri serta mohon doa restu dalam memimpin lembaga peradilan sengketa undang-undang ini.
Habib Saggaf tidak saja dihormati di kalangan umat Islam, tetapi juga disegani di kalangan non-Muslim. Dia mengajak kepada umat Kristiani untuk menjaga kerukunan beragama. Hal itu disampaikannya saat dikunjungi sekolompok umat Kristiani, bulan lalu.
“Apapun kalian, entah protestan atau yang lain, kalau ada perintah Pendeta yang tidak benar jangan diterima. Kalau itu hanya diarahkan pada urusan politik yang bikin kacau. Untuk apa dibangun (bangunan simbol agama, red) kalau hanya menghadirkan permasalahan!” kata Habib Saggaf.
Begitu pula, ia mengimbau umat Muslim apabila ada perintah berpotensi kekacauan, maka harus ditolak. “Kalau ada sama kita, kita ‘hajar’ mereka!” tegasnya lagi.
Dia juga memuji umat Kristiani yang ada di Kulawi dan Palolo, yang turut menjaga Alkhairaat. Di Kulawi beberapa madrasah Alkhairaat memiliki guru dari agama Kristen.
Soal bom bunuh diri yang dilakukan kelompok radikal, Habib Saggaf mengecam keras.
Menurut ulama kharismatik di Sulteng itu, bom bunuh diri itu adalah tindakan bodoh. Aksi bom bunuh diri itu, kata Habib Saggaf, hukumnya haram dan sangat berdosa, apalagi aksi itu dilakukan di Indonesia. Aksi tersebut sangatlah merugikan diri sendiri dan masyarakat secara keluruhan.

Habib Saggaf bin Muhammad Al-Jufri lahir 17 Agustus 1937 di Pekalongan.Habib yang ulang tahunnya bersamaan dengan hari kemerdekaan NKRI ini adalah anak sulung pasangan Habib Muhammad bin Idrus Al-Jufri dan Hababah Raquan binti Thalib Al-Jufri.
“Rumah saya dulu di Jalan Bandung 47 kota Pekalongan, dekat Maderasah Al-Irsyad. Saya dengar kabar rumah itu sekarang menjadi rumah sakit,” ujarnya mengenang. Kenangan indah di kota Pekalongan ini tetap melekat, sebab dia tinggal hingga umur 13 tahun, sehingga fasih bahasa Jawa. “Piye kabare?” Begitu habib sepuh ini menyapa penulis ketika berkunjung ke Palu beberapa bulan lalu.
Habib Saggaf sempat belajar di Maderasah Arab Islamiyah Pekalongan. Cuma dia tidak ingat betul, siapa dulu ustadz-ustadz yang mengajarnya. Bermain-main di Alun-alun Pekalongan, kemudian mengikuti kegiatan keagamaan di Masjid Waqaf, peninggalan Habib Ahmad bin Tholib Alatas. Juga mengikuti haul Habib Ahmad bin Thalib Alatas yang diselenggarakan di makam Sapura kota Pekalongan.
Habib Muhammad Al-Jufri, ayahnya, dulu berdagang di Pekalongan, dan pernah sebentar di kota Solo untuk mengajar dan juga berdagang.
Namun kakeknya, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri (1309 H/1892 M – 1389 H/1969 M) yang dikenal dengan nama kultural “Guru Tua” menjelang tua dan banyak pekerjaan yang perlu bantuan keluarga, maka keluarga Habib Muhammad Al-Jufri pindah ke Palu sekitar tahun 1951.
Di Palu, Habib Saggaf melanjutkan sekolah ibtidaiyahnya, diteruskan tsanawiyah, serta Mualimin B dan Mualimin A. “Selain itu, setiap pagi saya harus mengikuti pelajaran khusus yang disampaikan oleh Guru Tua untuk semua murid,” ujarnya.
Rihlah Dakwah
Pada tahun 1955, Habib Saggaf lulus maderasah Mualimin, dan dia diikut sertakan dalam rihlah dakwah Habib Idrus Al-Jufri ke berbagai kota di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Dalam perjalanan dakwah itu, Habib Idrus Al-Jufri menguji kesabaran, ketabahan, dan kecakapan kita dalam bergaul di masyarakat.
Sebuah pengalaman terjadi pada tahun 1959, Habib Idrus telah memutuskan untuk mengadakan rihlah dakwah ke timur dan ke selatan.
Para murid, termasuk Habib Saggaf, yang jumlahnya sekitar 5-6 orang mempersiapkan keperluan Habib Idrus Al-Jufri. Di antaranya barang dagangan yang akan dibawa di dalam perjalanan, yaitu sarung Donggala cap padi, serta kain-kain lainnya. Kriteria murid yang diajak, salah satunya karena bacaan Al-Qurannya bagus.
Qari itu diperlukan ketika membuka majelis, atau mereka yang bisa membaca shalawat dan qashidah dengan lancar serta berbagai syair-syair Arab yang sering mengisi majelis Habib Idrus.
Mengapa Habib Idrus membawa dagangan? Hal ini suatu pelajaran bagi para dai sekarang yang akan melaksanakan rihlah dakwah.
Barang dagangan itu dijual di suatu tempat atau kota, dan kalau sudah habis, dia akan membawa barang-barang yang ada di tempat atau kota tersebut nanti dijual ke tempat dan kota berikutnya.
Hasil perdagangan itu untuk biaya rihlah dakwah, seperti keperluan makan, ongkos kendaraan atau perahu, serta keperluan lainnya, seperti bantuan kepada masyarakat untuk mendirikan mushala atau maderasah.
Rihlah dakwah waktu, tidak selancar sekarang. Jalan belum mulus, dan mesti menunggu truk atau perahu yang bersedia membawa rombongan itu ke suatu tempat. Jarak Palu-Parigi yang sekarang dapat ditempuh dalam beberapa jam, waktu itu harus ditempuh satu dua hari perjalanan. Sebab baru 40 km berjalan saja, harus berhenti dan menginap dulu di tempat itu. Baru kemudian dilanjutkan ketika hari sudah terang.
Dalam saat menginap itu, biasanya ada pedagang setempat yang menjualkan dagangan Habib Idrus Al-Jufri. Entah karena berkah atau apa, barang dagangan itu banyak dicari jamaah, sedang barang serupa sebetulnya ada di toko lain. Seperti ketika di kota Poso, semua barang dagangan habis dibeli jamaah dengan jaminan toko yang dimiliki oleh salah satu murid Habib Idrus Al-Jufri. Kemudian toko itu juga menjamin Habib Idrus Al-Jufri untuk mengambil barang-barang dagangan untuk dijual ke tempat berikutnya secara konsinyasi.
Habib Saggaf menuturkan kisah Habib Idrus Al-Jufri dan murid-murid yang menyertainya, termasuk Habib Saggaf, pergi ke berbagai tempat di Sulawesi Tengah bagian timur. Berangkat bulan Sya’ban, sampai di Poso pada awal Ramadhan. Lama perjalanan, selain waktu itu jalannya belum baik, juga belum ada jembatan, sehingga harus menunggu perahu ketika menyebrang sungai, dan berhenti-berhenti di suatu kota atau desa untuk berdakwah.
Perjalanan dari Poso menuju kota Bungkuk, Morawali, lamanya sekitar satu bulan. Sebab tiba di Morawali persis ketika Idul Fitri, dan melaksanakan shalat Id di kota itu. Dan kemudian ke kota Luwuk melalui jalan laut.
“Habib mempunyai kebiasaan, bila lewat sebuah desa yang ada masjid atau maderasahnya, maka beliau akan singgah. Dan kalau penduduk setempat minta beliau memberikan pengajian, maka beliau akan tinggal beberapa hari di tempat itu,” jelas Habib Saggaf.
Pernah sekali sebuah desa yang dilewati tidak ada masjid maupun maderasah, maka rombongan Guru Tua hanya lewat saja.
Namun ketika pulang lewat jalan laut pada malam hari, perahu yang membawa rombongan Guru Tua di sekitar desa yang tidak ada masjid dan maderasah itu, di depan terlihat barekade perahu nelayan yang menghadang jalan perahu Guru Tua. Hal itu lerlihat dari lampu kapal yang mereka pasang.
Guru Tua kaget, apakah mereka akan dirampok? Ternyata tidak, para nelayan itu meminta Guru Tua dan rombongan sudi singgah di desa mereka. Mereka merasa malu tidak bisa memberikan penghormatan kepada Guru Tua karena dia tidak mau singgah di desa mereka yang tidak memiliki masjid dan maderasah.
“Akhirnya Habib dan rombongan singgah dan memberikan tuntunan agama Islam, dan rencana untuk mendirikan masjid dan maderasah. Salah satu penduduk di desa itu disuruh ikut Habib untuk diberi pelajaran, supaya nanti bisa menjadi imam masjid dan membina maderasah di desanya,” kata Habib Saggaf.
Ke Mesir
Pada tahun 1959, Habib Saggaf mendapat beasiswa belajar ke Universitas Al-Azhar. Pada waktu temannya dari Indonesia, antara lain Prof Dr Quraisy Syihab, Dr Alwi Syihab, Dr Umar Syihab, Mustafa Mahdamy dari Surabaya, Umar Hadadi, dan Yahya Assegaf dari Jakarta.
Habib Saggaf mengambil jurusan Syariah wal Qanun. Setelah S1 kemudian dilanjutkan S2, sehingga masa studinya cukup lama yaitu, dari 1959 hingga 1967.
Selain giat belajar, Habib Saggaf juga ikut kegiatan organisasi di Himpunan Pelajar dan Pemuda Indonesia (HPPI). Ketuanya waktu itu Jazuli Nur, sekretaris Gus Dur, dan dia sendiri duduk di bagian pendidikan.
“Gus Dur kuliah di Nizham Qadim, non gelar, jadi seperti pesantren, kuliahnya melingkar di masjid. Biasanya di bawah tiang masjid ada seorang guru besar yang memberikan kuliah pada jam-jam tertenu. Sedang saya di Nizham Jadid, sistem klasikal atau Fakultas, jadi kalau lulus dapat gelar,” terangnya.
Setelah mendapat gelar MA pada tahun 1967, Habib Saggaf langsung pulang ke Palu.
Belum berapa lama istirahat, Habib Saggaf langsung disodori jabatan Dekan Fakultas Ushuluddin, filial IAIN Datuk Karamah, yang ada di Palu. Meski dilantik Dirjen Depag RI pada waktu itu dengan SK PNS, tetapi karena usulan berkas hilang, maka sampai sekarang dirinya tidak pernah tercatat sebagai pegawai negeri.
Habib Saggaf menjadi Dekan Ushuluddin selama 10 tahun, yaitu pada tahun 1967 hingga 1977. Ketika minta berhenti, karena ingin lebih fokus mengurus Al-Khairaat, tidak diberi izin. Sedang Habib Saggaf sebetulnya sudah menjadi Ketua Umum Al-Khairaat sejak 1962, yaitu ketika dirinya masih belajar di Al-Azhar Mesir.
Wakilnya, Habib Abdurrahman bin Syaikh Al-Jufri, kemenakannya, yang menjalankan tugas selama dirinya masih di Mesir.
Pada tahun 1977 dipilih menjadi Ketua MUI Sulawesi Tengah dan pernah juga menjadi Ketua Umum GUPPI Sulawesi Tengah.
Namun semua jabatan itu kini ditinggalkannya, dan lebih fokus kepada jabatan sebagai Ketua Utama Al-Khairaat yang mengurusi pendidikan TK hingga perguruan tinggi, pesantren, lembaga pengobatan, yatim piatu, radio, surat kabar, dan lembaga social keagamaan lainnya.
Di dalam Al-Khairaat ada perbedaan antara ketua utama dan ketua umum. Ketua Utama seperti jabatan Rais Aam dalam organisasi PBNU, sedang ketua umum ya seperti jabatan ketua umum (Tanfidziah) di organisasi PBNU.
“Jadi Ketua Utama memiliki hak veto untuk menentukan atau menolak sebuah keputusan organisasi di dalam Al-Khairaat. Hal ini karena pertimbangan dulu, ada salah satu komisaris daerah yang seenaknya sendiri mengangat pengurus, dan menganggap Al-Khairaat di daerah sebagai miliknya. Karena itu pengurus yang tidak benar itu, bisa diveto oleh Ketua Utama, diberhentikan atau dibatalkan kebijaksanaannya yang tidak sesuai dengan misi organisasi,” ujar Habib Saggaf.
Keluarga
Pada tahun 1967, Habib Saggaf menikah dengan Syarifah Ruqayah Al-Jufri dan melahirkan anak, di antaranya Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri, serta Sakinah.
Pada tahun 1971 menikah lagi dengan Syarifah Zahrah bin Yahya dan memiliki anak, di antaranya Dr Mufidah yang menikah dengan Dr Ali bin Hasan Al-Jufri, dosen STAIN Al-Khairat. Pasangan dua doktor ini mengasuh pondok putra Al-Khairaat di Dolo. Kemudian menikah lagi dengan Syarifah Umnah Ar-Rumi memiliki empat anak, yaitu Mustafa, Raguan, Raqayah, dan Fathimah.
Bersama dengan istrinya, Syarifah Umnah, sehari-hari Habib Saggaf mengurus toko buku serta beberapa keperluan santri lainnya di Jalan SIS Al-Jufri Palu. Selain sudah sepuh, sehingga tenaganya berkurang, Habib Saggaf masih melayani beberapa pengajian, dan kadang khotbah nikah, serta kegiatan yang ringan di kota Palu. Tentu saja memimpin acara haul Guru Tua pada 12 Syawal, setiap tahun.
Menurut catatan, Habib Saggaf telah menulis dua buku, yaitu: (1) buku yang dipublikasikan habib saggaf: Soal Jawab tentang Umat dan Masalahnya (dua jilid). Anasyid (satu jilid), Kumpulan Mahfuzhat (tiga jilid). Makna Saggaf dalam bahasa Indonesia bisa berarti: atap atau langit-langit rumah, tetapi yang pas adalah pengayom.
Dulu dia menulis untuk surat kabar Al-Khairaat setiap hari untuk rubrik kolom khusus, tetapi sekarang sudah digantikan adiknya. Habib Abdillah bin Muhammad Al-Jufri.

8 Sep 2015

Sejarah Hari Idul Adha (Kisah Kesabaran Nabi Ismail)


Pada suatu hari, Nabi Ibrahim AS menyembelih kurban fisabilillah berupa 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak orang mengaguminya, bahkan para malaikat pun terkagum-kagum atas kurbannya.

“Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,” kata Nabi Ibrahim AS, sebagai ungkapan karena Sarah, istri Nabi Ibrahim belum juga mengandung.

Kemudian Sarah menyarankan Ibrahim agar menikahi Hajar, budaknya yang negro, yang diperoleh dari Mesir. Ketika berada di daerah Baitul Maqdis, beliau berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak, dan doa beliau dikabulkan Allah SWT. Ada yang mengatakan saat itu usia Ibrahim mencapai 99 tahun. Dan karena demikian lamanya maka anak itu diberi nama Isma'il, artinya "Allah telah mendengar". Sebagai ungkapan kegembiraan karena akhirnya memiliki putra, seolah Ibrahim berseru: "Allah mendengar doaku".

Ketika usia Ismail menginjak kira-kira 7 tahun (ada pula yang berpendapat 13 tahun), pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS bermimpi ada seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).”

Pagi harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah mimpi itu dari Allah SWT atau dari setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8 Dzulhijah disebut sebagai hari tarwiyah (artinya, berpikir/merenung).

Pada malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi sama dengan sebelumnya. Pagi harinya, beliau tahu dengan yakin mimpinya itu berasal dari Allah SWT. Dari sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah (artinya mengetahui), dan bertepatan pula waktu itu beliau sedang berada di tanah Arafah.

Malam berikutnya lagi, beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan harinya, beliau bertekad untuk melaksanakan nazarnya (janjinya) itu. Karena itulah, hari itu disebut denga hari menyembelih kurban (yaumun nahr). Dalam riwayat lain dijelaskan, ketika Nabi Ibrahim AS bermimpi untuk yang pertama kalinya, maka beliau memilih domba-domba gemuk, sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya. Beliau mengira bahwa perintah dalam mimpi sudah terpenuhi. Untuk mimpi yang kedua kalinya, beliau memilih unta-unta gemuk sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya, dan beliau mengira perintah dalam mimpinya itu telah terpenuhi.

Pada mimpi untuk ketiga kalinya, seolah-olah ada yang menyeru, “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu agar menyembelih putramu, Ismail.” Beliau terbangun seketika, langsung memeluk Ismail dan menangis hingga waktu Shubuh tiba. Untuk melaksanakan perintah Allah SWT tersebut, beliau menemui istrinya terlebih dahulu, Hajar (ibu Ismail). Beliau berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia akan kuajak untuk bertamu kepada Allah.” Hajar pun segera mendandani Ismail dengan pakaian paling bagus serta meminyaki dan menyisir rambutnya.

Kemudian beliau bersama putranya berangkat menuju ke suatu lembah di daerah Mina dengan membawa tali dan sebilah pedang. Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar biasa sibuknya dan belum pernah sesibuk itu. Mondar-mandir ke sana ke mari. Ismail yang melihatnya segera mendekati ayahnya.

“Hai Ibrahim! Tidakkah kau perhatikan anakmu yang tampan dan lucu itu?” seru Iblis.

“Benar, namun aku diperintahkan untuk itu (menyembelihnya),” jawab Nabi Ibrahim AS.

Setelah gagal membujuk ayahnya, Iblsi pun datang menemui ibunya, Hajar. “Mengapa kau hanya duduk-duduk tenang saja, padahal suamimu membawa anakmu untuk disembelih?” goda Iblis.

“Kau jangan berdusta padaku, mana mungkin seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar.

“Mengapa ia membawa tali dan sebilah pedang, kalau bukan untuk menyembelih putranya?” rayu Iblis lagi.

“Untuk apa seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar balik bertanya.

“Ia menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu”, goda Iblis meyakinkannya.

“Seorang Nabi tidak akan ditugasi untuk berbuat kebatilan. Seandainya itu benar, nyawaku sendiri pun siap dikorbankan demi tugasnya yang mulia itu, apalagi hanya dengan mengurbankan nyawa anaku, hal itu belum berarti apa-apa!” jawab Hajar dengan mantap.

Iblis gagal untuk kedua kalinya, namun ia tetap berusaha untuk menggagalkan upaya penyembelihan Ismail itu. Maka, ia pun menghampiri Ismail seraya membujuknya, “Hai Isma’il! Mengapa kau hanya bermain-main dan bersenang-senang saja, padahal ayahmu mengajakmu ketempat ini hanya untk menyembelihmu. Lihat, ia membawa tali dan sebilah pedang,”

“Kau dusta, memangnya kenapa ayah harus menyembelih diriku?” jawab Ismail dengan heran. “Ayahmu menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu” kata Iblis meyakinkannya.

“Demi perintah Allah! Aku siap mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa ragaku,” jawab Ismail dengan mantap.

Ketika Iblis hendak merayu dan menggodanya dengan kata-kata lain, mendadak Ismail memungut sejumlah kerikil ditanah, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis hingga butalah matanya sebelah kiri. Maka, Iblis pun pergi dengan tangan hampa. Dari sinilah kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar kerikil (jumrah) dalam ritual ibadah haji.

Sesampainya di Mina, Nabi Ibrahim AS berterus terang kepada putranya, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?…” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).

“Ia (Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).

Mendengar jawaban putranya, legalah Nabi Ibrahim AS dan langsung ber-tahmid (mengucapkan Alhamdulillâh) sebanyak-banyaknya.

Untuk melaksanakan tugas ayahnya itu Ismail berpesan kepada ayahnya, “Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu akan turut berduka.”

“Tajamkanlah pedang dan goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada agar ibu agar menjadi kenangan baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, ‘Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah.’ Terakhir, janganlah ayah mengajak anak-anak lain ke rumah ibu sehingga ibu sehingga semakin menambah belasungkawa padaku, dan ketika ayah melihat anak lain yang sebaya denganku, janganlah dipandang seksama sehingga menimbulka rasa sedih di hati ayah,” sambung Isma'il.

Setelah mendengar pesan-pesan putranya itu, Nabi Ibrahim AS menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah kau, wahai putraku tercinta!”

Kemudian Nabi Ibrahim as menggoreskan pedangnya sekuat tenaga ke bagian leher putranya yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.

Ismail berkata, “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah SWT dalam menjalan perintah semata-mata karena-Nya.”

Nabi Ibrahim as melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya dengan sekuat tenaganya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, beliau menghujamkan pedangnya kearah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian. “Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” gerutu beliau.

Atas izin Allah SWT, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 106)

Menurut satu riwayat, bahwa Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil dan selama itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu, malaikai Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”. Nabi Ibrahim AS menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Kemudian bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha)

Penjelasan Habib Munzir Al Musawa Tentang Qurban dan Aqiqah

Berikut Penjelasan Singkat Tentang Qurban dan Aqiqah oleh Guru Mulia Habib Munzir Al Musawa.


Aqiqah hukumnya sunnah muakkadah, jika dilakukan mendapat pahala, jika tidak dilakukan maka tidak mendapat dosa, boleh dilakukan oleh ayah, atau wali, atau diri sendiri, atau oleh orang lain, boleh saat masih kecil, boleh sudah dewasa, bahkan ada ulama yg membolehkan walau orangnya sudah wafat.
Qurban dan Aqiqah adalah dua perbuatan sunnah dan tidak wajib, tidak saling menghalangi satu sama lain, namun jika ditanya, mana yg didahulukan? tentunya aqiqah, namun jika ia ingin Qurban tanpa Aqiqah maka Qurbannya sah, karena Aqiqah sunnah hukumnya demikian pula Qurban, tidak saling menghalangi satu sama lain,
namun sebaiknya dipadu saja dua niat dalam satu penyembelihan, hal ini dperbolehkan, demikian dalam Madzhab Syafii.
tak ada hadits penjelas bahwa Aqiqah dan Qurban saling menghalangi, dan tak ada pula hadits shahih yg menjelaskan Aqiqah dan Qurban tidak saling menghalangi, namun hal ini merupakan Hukum Syariah bahwa hal yg sunnah tidak saling menghalangi.



Sumber : http://www.majelisrasulullah.org

6 Sep 2015

Hukum Maulid Nabi menurut Guru Muliah Habib Munzir Al Musawa

Kali ini saya akan meposting tentang Hukum melaksanakan Maulid Nabi, sengaja saya mempostingnya karna secara pribadi sudah cape dengar sebagian orang yang asal keluarin fatwa BID'AH. dan kalau anda salah satunya, silahkan anda membaca posting ini karna tulisan ini bersumber dari Guru mulia kami Habib Munzir Al Musawa.
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Keridhoan dan kelembutan Nya semoga selalu membuka jalan kemudahan pada hari hari anda,


Inilah Tanggapan Habib tentang pertanyaan apa Hukum Melaksanakan Maulid. :

Saudaraku yg kumuliakan, mengenai hukum maulid telah saya jawab dengan gamblang, dan saya juga telah menjawab banyak masalah masalah bid;ah, tawassul, tahlil dll pada buku karangan saya : “Kenalilah Aqidahmu” yg bisa dipesan di web ini melalui sekertariat kami, mengenai maulid berikut saya lampirkan artikel saya yg di buku tsb :

PERINGATAN MAULID NABI SAW

ketika kita membaca kalimat diatas maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah).
Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yg membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia.
Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw.
Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya

Firman Allah : “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33)

Firman Allah : “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS Maryam 15)

Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177)

Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yg menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu utsman) melihat bintang bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang benderang keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)

Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw melihat cahaya yg terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yg 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya.

Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162). dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dg puasa.
Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya, contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yg berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yg perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dg hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yg lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yg berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dg puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.

Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu.

Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yg perhatian pada hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.

Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas ra memuji dg syair yg panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417)
Kasih sayang Allah atas kafir yg gembira atas kelahiran Nabi saw Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di neraka, Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dg kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya.

Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi saw maka Imam imam diatas yg meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh imam imam dan mereka tak mengingkarinya.

Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yg lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yg lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata : “bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dg doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata : “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)

Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa hadits shahih yg menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yg dilarang adalah syair syair yg membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair syair yg memuji Allah dan Rasul Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair syairnya (Mustadrak ala shahihain hadits no.6058, sunan Attirmidzi hadits no.2846) oleh Aisyah ra bahwa ketika ada beberapa sahabat yg mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata : “Jangan kalian caci hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw”(Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337).

Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid sebelumnya perlu saya jelaskan bahwa yg dimaksud Al Hafidh adalah mereka yg telah hafal lebih dari 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya, dan yg disebut Hujjatul Islam adalah yg telah hafal 300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya.
1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah : Telah jelas dan kuat riwayat yg sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yg berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yg diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dg pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yg melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran 164)

2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah : Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dg sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yg kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yg telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dg makanan makanan dan yg serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.

3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) : Merupakan Bid’ah hasanah yg mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yg diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dg kelahiran Nabi saw.

4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif : Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yg Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dg muslim ummat Muhammad saw yg gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.

5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy : Serupa dg ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab.

6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah berkata ”tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pd malamnya dg berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yg sangat besar”.

7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : ”ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw”

8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah dengan karangan maulidnya yg terkenal ”al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dg tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yg membacanya serta merayakannya”.

9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: ”Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kpd orang yg menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.

10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yg terkenal dg Ibn Dihyah alkalbi dg karangan maulidnya yg bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”

11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri dg maulidnya ”urfu at ta’rif bi maulid assyarif”

12. Imam al Hafidh Ibn Katsir yg karangan kitab maulidnya dikenal dg nama : ”maulid ibn katsir”

13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy dgn maulidnya ”maurid al hana fi maulid assana”

14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.

15. Imam assyakhawiy dg maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi.

16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi dg maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah

17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy yg terkenal dg ibn diba’ dgn maulidnya addiba’i.

18. Imam ibn hajar al haitsami dg maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam.

19. Imam Ibrahim Baajuri mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dg nama tuhfa al basyar ala maulid ibn hajar.

20. Al Allamah Ali Al Qari’dg maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi.

21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji dg maulidnya yg terkenal maulid barzanji.

22. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani dg maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad.

23. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy dg maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’.

24. Imam Ibrahim Assyaibaniy dg maulid al maulid mustofa adnaani.

25. Imam Abdulghaniy Annanablisiy dg maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi”.

26. Syihabuddin Al Halwani dg maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif.

27. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati dg maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar.

28. Asyeikh Ali Attanthowiy dg maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa.

29. As syeikh Muhammad Al maghribi dg maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.

Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yg menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yg menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yg jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.

Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid

Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari kerinduan pada Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yg dianjurkan oleh Rasul saw adalah berdiri, sebagaimana diriwayatkan ketika sa’ad bin Mu’adz ra datang maka Rasul saw berkata kepada kaum anshar : “Berdirilah untuk tuan kalian” (shahih Bukhari hadits no.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’b bin Malik ra.

Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yg dijelaskan bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yg adil dan yg semacamnya merupakan hal yg baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yg dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yg duduk, dan Imam Nawawi yg berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka taka apa, sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang, namun adapula pendapat lain yg melarang berdiri untuk penghormatan.(Rujuk Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 12 hal 93)

Namun sehebat apapun pendapat para Imam yg melarang berdiri untuk menghormati orang lain, bisa dipastikan mereka akan berdiri bila Rasulullah saw datang pada mereka, mustahil seorang muslim beriman bila sedang duduk lalu tiba tiba Rasulullah saw datang padanya dan ia tetap duduk dg santai..

Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid itu tak ada hubungan apa apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul saw tidak dhohir dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yg tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir, semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yg Rasul saw pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw.

Jauh berbeda bila kita yg berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk kerinduan kita pada nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau saw.

Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yg padanya dibacakan puji pujian untuk nabi saw, lalu diantara syair syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy dan seluruh Imam imam yg hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yg luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan, dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah hasanah sudah menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yg sunnah, (berlandaskan hadist shahih muslim no.1017 yg terncantum pd Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah,

Dan berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yg mengadakannya. (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137)

Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yg diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul saw yg sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yg dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yg mengingkarinya karena jelas jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yg mustahab (yg dicintai), sebagaiman kaidah syariah bahwa “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yg menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.

contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yg wajib .

contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yg hukumnya sunnah.

Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah merupakan hal yg wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak perduli dg Nabinya saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tablig ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta silaturahmi.

Sebagaimana penulisan Alqur’an yg merupakan hal yg tak perlu dizaman nabi saw, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yg membutuhkan penjelasan Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yg wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah.

Hal semacam in telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yg awam, namun hanya sebagian saudara saudara kita muslimin yg masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.

Walillahittaufiq

mengenai kejelasan hukum Bid’ah dll telah saya jelaskan dg rinci pada buku saya : “Kenalilah Akidahmu”.

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,

Wallahu a’lam

Sumber www.Majelisrasulullah.org

5 Sep 2015

Habib Zein bin Smith - Tawasul dengan Al-Fatihah

Bolehkah menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran dan dzikir kepada orang yang telah mati?

Ya, itu dibolehkan. Madzhab yang benar dan terpilih menyatakan sampai­nya pahala bacaan dan amal-amal jas­mani lainnya kepada mereka, dan bah­wasanya karena itu pula mereka bisa men­dapatkan pengampunan atas dosa atau peningkatan derajat, cahaya, ke­gembiraan, dan pahala lainnya lantaran karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apa dalilnya?

Dalilnya, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda, “Ba­calah surah Yasin kepada orang-orang mati di antara kalian.” – Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (3121), Ibnu Majah (1448), dan lainnya, dari hadits Ma’qil bin Yasar Radhiyallohu ‘Anhu.
Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam juga bersabda, “Ya-Sin adalah jantung Al-Quran. Tidaklah seseorang membacanya dengan niat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menghendaki ne­geri akhirat melainkan Allah mengam­puninya. Dan bacakanlah ia kepada orang-orang mati di antara kalian.” – Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5: 26), An-Nasa’i dalam Al-Kubra (10914), dan lainnya.
Ulama ahli tahqiq menyatakan, ha­dits ini bersifat umum, mencakup bacaan kepada orang sekarat yang akan mati dan bacaan kepada orang yang sudah mati. Inilah pengertian yang jelas dari hadits di atas.
Hadits ini menjadi dalil bahwa baca­an tersebut sampai kepada orang-orang yang sudah mati dan adanya manfaat padanya sebagaimana yang disepakati para ulama. Perbedaan pendapat hanya berkaitan jika pembaca tidak berdoa setelahnya dengan doa semacam ini, misalnya, “Ya Allah, jadikanlah pahala bacaan kami kepada Fulan.”
Jika seesorang membaca doa ini se­bagaimana yang diamalkan kaum mus­limin, yang memberikan pahala bacaan mereka kepada orang-orang mati di an­tara mereka, tidak ada perbedaan pen­da­pat di antara ulama terkait sampainya bacaan itu, karena ia dikategorikan seba­gai doa yang disepakati tersampai­nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka ber­doa, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami’.” – Qur’an Surat Al-Hasyr (59): 10.

Jika dia tidak berdoa demikian de­ngan bacaannya itu, menurut pendapat yang termasyhur dalam Madzhab Syafi’i, pahalanya tidak sampai. Namun ulama Madzhab Syafi’i generasi akhir menyata­kan, pahala bacaan dan dzikir sampai kepada mayit, seperti mazhab tiga Imam yang lain, dan inilah yang diamalkan umat pada umumnya. “Apa yang menu­rut kaum muslimin baik, itu baik di sisi Allah.” Ini adalah perkataan Ibnu Mas’ud Radhiyallohu ‘Anhu.

Sayyidil Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, semoga Allah melimpahkan manfaat kepada kita lantarannya, mengatakan, “Di antara yang paling besar keberkah­annya dan paling banyak manfaatnya untuk dihadiahkan kepada orang-orang mati adalah bacaan Al-Quran dan meng­hadiahkan pahalanya kepada mereka. Kaum muslimin pun telah mengamalkan ini di berbagai negeri dan masa. Mayo­ritas ulama dan orang-orang shalih, salaf maupun khalaf, pun berpendapat demi­kian.” Silakan simak perkataan Al-Haddad Radhiyallohu ‘Anhu selengkapnya dalam Sabil al-Iddikar.
Dari Ibnu Umar Radhiyallohu ‘Anhu, ia mengatakan, “Jika salah seorang di antara kalian mati, janganlah kalian menahannya. Segera­kanlah ia ke kuburnya, dan hendaknya di­bacakan permulaan Al-Baqarah di dekat kepalanya, dan di dekat kedua kaki­nya dengan penutup Al-Baqarah.” – Disampaikan secara marfu’ (perkataan sahabat yang dinisbahkan sebagai per­kataan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam) oleh Imam Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (12: 444) dan Imam Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (7: 16) dari hadits Ibnu Umar Radhiyallohu ‘Anhu. Al-Baihaqi mengatakan, yang benar adalah bahwasanya itu adalah perkataan Ibnu Umar Radhiyallohu ‘Anhu.
Dalam kitabnya, Ar-Ruh, Ibnu Qayyim mengungkapkan adanya penyampaian pelajaran di atas kubur. Ia berhujjah, se­jumlah ulama salah berwasiat agar di­adakan bacaan pada kubur mereka, di antaranya adalah Ibnu Umar, yang ber­wasiat agar dibacakan surah Al-Baqarah pada kuburnya, dan bahwasanya kaum Anshar mengamalkan jika ada orang yang mati, maka mereka silih berganti ke kuburnya untuk membaca Al-Quran padanya (Ar-Ruh hlm. 10).

Ulama menyatakan, seseorang di­bolehkan menghadiahkan pahala amal­nya kepada orang lain, baik itu berupa bacaan maupun yang lainnya. Dalilnya, hadits yang diriwayatkan Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, yang bersabda, “Dibolehkan bagi salah seorang di antara kalian, jika hendak bersedekah dengan sukarela, memberikannya kepada kedua orang­tuanya. Dengan demikian, kedua orang­tuanya mendapatkan pahala sedekah­nya dan ia pun mendapatkan seperti pa­hala kedua orangtuanya tanpa mengu­rangi pahala kedua orangtuanya sedikit pun.” – Disampaikan oleh Imam Ath-Thabrani dalam Al-Ausath (7: 92) dan Abu Syaikh Ibnu Hayyan dalam Thabaqat Al-Muhad­ditsin bi Ashbahan (3: 610).
Di antara hadits-hadits yang diriwa­yat­kan terkait hal ini, meskipun dhaif, telah ditetapkan di antara ulama hadits bahwasanya hadits dhaif dapat diamal­kan terkait fadhail al-a’mal, keutamaan-keutamaan amal.

Apa hukum bacaan Al-Quran kepada mayit dan di atas kubur?
Imam Syafi’i Rahimahullah menyatakan, dianjurkan membaca ayat apapun dari Al-Quran di dekat kubur. Jika mereka mengkhatamkan Al-Quran seluruhnya, itu baik. Ini disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam Riyadh Ash-Shalihin dan dalam Al-Adzkar.
Apa dalil yang membolehkannya?

Dalilnya, sebagaimana yang baru saja disampaikan di atas, perkataan Ibnu Umar Radhiyallohu ‘Anhu, “Jika salah seorang di antara kalian mati, janganlah kalian menahan­nya. Segerakanlah ia ke kuburnya, dan hendaknya dibacakan permulaan Al-Ba­qarah di dekat kepalanya, dan di dekat kedua kakinya dengan penutup Al-Baqarah.”

Hadits marfu’ juga telah disampaikan sebelum ini, “Bacalah Ya-Sin kepada orang-orang yang mati di antara kalian.” Sebagian ulama hadits menafsirkannya pada makna sebenarnya, sebagaimana ini cukup jelas dari lafal hadits. Semen­tara sebagian yang lain menafsirkannya pada makna kiasan. Maksudnya, orang yang sudah mendekati kematiannya. Namun masing-masing makna dimung­kinkan. Dan seandainya kedua makna ini sama-sama diamalkan, itu lebih baik.
Al-Khallal meriwayatkan dari Sya’bi, ia mengatakan: “Jika di antara kaum Anshar ada orang yang mati, mereka silih berganti ke kuburnya untuk mem­baca Al-Quran. Demikian. Kaum muslim­in pun masih tetap membaca Al-Quran kepada orang-orang mati sejak masa kaum Anshar”.
Dari semua penjelasan di atas dapat diketahui bahwasanya bacaan Al-Quran di atas kubur merupakan anjuran syari’at. Allah lebih mengetahui.

Apa makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan tidaklah manusia mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.” – Quran Surat An-Najm (53): 39, dan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, “Jika manusia mati, terputuslah amalnya”?

Dalam kitab Ar-Ruh, Ibnu Qayyim mengatakan, Al-Quran tidak menafikan seseorang mendapatkan manfaat dari usaha orang lain, tetapi Al-Quran hanya memberitahukan bahwasanya ia tidak memiliki kecuali usahanya. Adapun usaha orang lain, itu adalah milik orang yang melakukannya. Orang lain itu dapat menghendaki memberikannya kepada orang lain atau menghendaki menahan­nya untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini, Allah SWT tidak menyatakan “Sesung­guhnya dia tidak boleh menerima man­faat kecuali lantaran apa yang diusaha­kannya sendiri.”

Sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, “Terputuslah amal­nya.” Beliau tidak menyatakan “Peman­faatannya”, tetapi beliau hanya memberi­tahukan ihwal keterputusan amalnya. Ada­pun amal orang lain, itu menjadi hak orang yang melakukannya. Jika ia mem­berikannya kepadanya, pahala amal orang yang melakukannya sampai ke­padanya, bukan pahala amalnya sendiri. Dengan demikian, yang terputus adalah satu hal, dan yang sampai adalah hal lainnya. Demikian yang disampaikannya secara ringkas (Kitab Ar-Ruh halaman 129).

Ulama tafsir menyebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallohu ‘Anhu, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan se­sungguhnya manusia tidak mendapat­kan kecuali apa yang diusahakannya” – Quran Surat An-Najm (53): 39, telah dihapus hu­kumnya dalam syari’at ini dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan orang-orang yang ber­iman, beserta anak-cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak-cucu mereka.” – Quran Surat Ath-Thur (52): 21. Allah memasukkan anak-cucu ke dalam surga lantaran kebajikan leluhur mereka. (Lihat Tafsîr Al-Qurthubi (17: 114)).

Ikrimah mengatakan, itu terjadi pada kaum Musa ‘Alaihis Salam. Adapun umat ini menda­patkan apa yang mereka usahakan dan mendapatkan pula apa yang diusahakan oleh yang lain. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa seorang wa­nita mengangkat bayinya dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah anak ini men­dapatkan pahala haji?”

Beliau menjawab, “Benar, dan bagi­mu pahala.” – Hadits ini disampaikan oleh Imam Muslim (1336) dan lainnya, dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallohu ‘Anhu.
Yang lainnya bertanya kepada Nabi SAW, “Ibuku terluputkan dirinya (mati tanpa wasiat), apakah ia mendapatkan pahala jika aku bersedekah atas nama dia?”
Beliau menjawab, “Benar.” – Hadits ini disampaikan oleh Imam Al-Bukhari (1322) dan Muslim (1004) dari hadits Aisyah Radhiyallohu ‘Anha.

Perkataan penanya, “terluputkan”, kata ini diucapkan terkait orang yang mati secara tiba-tiba, dan diucapkan pula terkait orang yang tewas oleh jin dan gangguan. “Dirinya,” menurut Imam Na­wawi, “kami menulisnya dengan harakat fathah dan dhammah nafsaha dan naf­suha, dengan nashab dan rafa’. Bacaan rafa’ dengan maksud sebagai obyek yang tidak disebutkan subyeknya. Nashab dengan maksud sebagai obyek kedua.” – Syarh Muslim (7: 89-90).
Demikian, Allah lebih mengetahui.

29 Agu 2015

Biografi KH Zainudin MZ "Sang Da'i Sejuta Umat"

 KH Zainudin MZ Sang Da'i Sejuta Umat




KH Zainuddin Muhammad Zein atau yang lebih dikenal dengan nama Zainuddin MZ adalah seorang pemuka agama Islam di Indonesia. Alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini  juga terjun ke dunia politik. Pernah aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Karena merasa tidak cocok dengan PPP, dia kemudian mendirikan PPP Reformasi, yang kemudian menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR), bersama Zainal Maarif. Zainuddin pun menjadi ketua umum pertamanya. Kemudian terjadi pertikaian di PBR, Zainuddin pun kembali ke PPP atas tawaran Ketum PPP Suryadharma Ali.

Dari kiprahnya di berbagai stasiun televisi, kiai kondang kelahiran Jakarta, 2 Maret 1951 ini pun dijuluki 'Dai Sejuta Umat. Putra tunggal pasangan Turmudzi dan Zinabun ini juga dikenal sangat mengusung adat Betawi asli. Dari pernikahannya dengan Hj Kholilah, Zainuddin dikaruniai empat orang anak yakni Fikri Haikal MZ, Lutfi MZ, Kiki MZ, dan Zaki MZ.

Di tahun-tahun berikutnya, nama Zainuddin mulai tenggelam sebagai penceramah. Namun ia kemudian fokus menebarkan dakwah dan kembali berada di tengah umat sejak beberapa tahun terakhir. Sayangnya, sekitar bulan Oktober tahun 2010, nama Zainuddin tercoreng akibat pengakuan seorang artis bernama Aida Saskia yang mengaku diperkosa sang Dai. Kasus ini pun masih belum tuntas.

November 2010, Zainuddin diketahui dirawat di rumah sakit akibat kecapekan dan stres. Setelah itu, dirinya tidak lagi muncul di layar kaca, hingga akhirnya menutup usia pada 5 Juli 2011 tepat pukul 09.20 WIB di RS Pertamina, Jakarta. Sebagaimana permintaan beliau, jenazahnya dimakamkan di kompleks halaman masjid Fajrul Islam yang memang berada persis di depan rumah almarhum. Pemakaman dilakukan pada hari yang sama usai shalat Ashar.

Zainuddin kecil sudah suka berpidato dengan naik ke atas meja ruang tamu. Bakatnya itu kemudian disalurkan ke Madrasah Tsanawiyah hingga tamat Aliyah di Darul Ma'arif, Jakarta, di mana ia belajar berpidato dalam forum Ta'limul Muhadharah. Kebiasaanya bercanda dan bercerita kian berkembang, dan seiringi waktu, semakin banyak pula permintaan ceramah yang terus datang.

Perkembangan karir Zainuddin mulai dikenal luas sejak ceramah-ceramahnya mulai masuk dunia rekaman. Kasetnya beredar tidak hanya di Indonesia tetapi ke beberapa negara di Asia. Sejak itu, dai penggemar Dangdut yang juga sahabat Rhoma Irama itu mulai dilirik untuk tampil di layar kaca, bahkan dikontrak sebuah biro perjalanan haji untuk bersafari bersama beberapa artis ke berbagai daerah lewat program Nada dan Dakwah.

Sukses menjadi penceramah, Zainuddin masih juga penasaran dengan bidang lainnya. Ia pun terjun ke dunia politik. Tahun 1977-1982, pria lulusan S1 IAIN Syarif Hidayatullah dan Dr Hc Universitas Kebangsaan Malaysia ini bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berlambang Ka'bah. Jabatannya kian meningkat. Zainuddin pun aktif menjadi pengurus PPP sebagai dewan penasehat DPW DKI Jakarta - sebelum akhirnya terlibat ke DPP.

Bersama Raja Dangdut Rhoma Irama, Zainuddin kemudian berkeliling ke berbagai wilayah mengampanyekan PPP yang kemudian berganti logo menjai gambar bintang. Dari situ, hasil yang diperoleh partai sangat signifikan dan mempengaruhi dominasi Golkar, yang akhirnya membuat penguasa Orde Baru merasa cemas dan membuatnya tak lepas dari ancaman teror.

Selain itu, keterlibatannya dalam PPP tidak bisa dilepaskan dari guru ngajinya, KH Idham Chalid. Guru yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PB NU itu merupakan salah satu deklalator PPP. Namun pada 20 Januari 2002, Zainuddin bersama rekan politiknya mendeklarasikan PPP Reformasi yang kemudian berubah menjadi Partai Bintang Reformasi dalam Muktamar Luar Biasa pada 8-9 April 2003 di Jakarta. Zainuddin juga secara resmi ditetapkan sebagai calon presiden oleh partai ini. Ia lantas menjabat sebagai Ketua umum PBR sampai tahun 2006





Sekian Biografi Dari KH Zainudin MZ, Untuk Sang Da'i "ALFATIHAH"...




Analist