Memasuki kawasan Kwitang,
Jakarta Pusat, jangan coba-coba menaiki kendaraan tiap Ahad pagi.
Selesai shalat Subuh, di daerah ini, terutama di Jalan Kramat II dan
sekitarnya, ribuan manusia berbondong-bondong mendatangi Majelis Taklim Habib Ali Alhabsyi
yang terletak di jalan tersebut. Para pendatang yang ingin mendengar
ceramah dari para ulama, harus bersusah payah dan berdesak-desakan
untuk mendapat tempat di majelis tersebut. Sebagian besar dari mereka
tak mendapatkan tempat di dekat mimbar (panggung). Mereka datang dari
berbagai kota di Jabodetabek dan kota lainnya.
Tak hanya mereka yang ingin mendengarkan ceramah,
para pedagang juga turut memadati area Kwitang. Tak heran, jalan yang
tak terlalu lebar itu semakin sempit dan sesak. Tak kurang dari 100
pedagang yang menjual aneka kebutuhan pengunjung. Sepanjang jalan dari
ujung Kramat Raya hingga lokasi majelis taklim ini yang berjarak
sekitar 700 meter itu penuh sesak dengan lautan manusia. Begitu juga
dengan daerah seputar Ciliwung yang dipenuhi dengan tenda-tenda
pedagang, sejak Sabtu sore.
Membludaknya pengunjung di majelis taklim Kwitang ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh pendirinya, yakni Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi, seorang ulama kelahiran Betawi.
Sebelum majelis taklim di buka tiap Ahad pukul 08.00 pagi, para
pengunjung terlebih dahulu berziarah ke makam sang habib di Majelis
Al-Riyadh, Kwitang. Majelis taklim ini dibangun pada 1910 M (masehi)
dari sebuah mushala kecil. Di kompleks makam itu, ratusan peziarah
membaca surah Yasin dan berdoa untuk almarhum.
Habib Ali Alhabsyi dilahirkan pada 1286 Hijriyah (1869 Masehi) di
Kwitang. Ayahnya, Habib Abdurahman bin Abdullah Alhabsyi, adalah
seorang ulama yang lahir di Petak Sembilan, Semarang (Jateng), yang
kemudian tinggal di Jakarta (Betawi). Di Betawi, Habib Abdurrahman
menikah dengan seorang puteri ulama kelahiran Meester Cornelis
(Jatinegara) bernama Nyi Salmah. Pada tahun 1296 Hijriyah (1879 M),
Habib Abdurrahman meninggal dunia ketika Habib Ali berusia 10 tahun.
Jenazahnya dimakamkan di dekat kediaman Raden Saleh yang
bersebelahan dengan Taman Ismail Marzuki (TIM) sekarang ini. Pelukis
tenar yang punya nama di dunia internasional ini merupakan kemenakan
ayah Habib Ali, sama-sama kelahiran Semarang.
Sebelum meninggal, Habib Abdurahman telah berwasiat kepada istrinya,
Nyi Salmah, agar putranya (Habib Ali–Red) disekolahkan ke Hadramaut dan
Makkah. Kala itu, untuk mendapatkan pendidikan agama, orang Betawi
banyak menyekolahkan putra-putrinya ke Timur Tengah. Kebiasaan ini
terus berlangsung sampai kini.
Sesuai dengan pesan almarhum suaminya, Nyi Salmah pun menyekolahkan
putranya ke Hadramaut. Selama lima tahun (1881-1886), Habib Ali berguru
pada sejumlah ulama. Sebagai remaja yang haus akan ilmu, Habib Ali juga
menempuh pendidikan di kota suci Makkah. Sekembali ke Indonesia,
semangatnya untuk belajar terus menyala-nyala. Dia berguru dengan
sejumlah ulama di Jakarta, termasuk Habib Usman Bin Yahya, mufti Betawi.
Ketika terjadi pembantaian besar-besaran terhadap kaum Muslim di
Tripoli, Libya, oleh Italia yang menjajah negeri itu, berita tidak
berkemanusiaan ini pun sampai ke Jakarta. Banyak protes dari umat
Islam, terutama melalui masjid-masjid. Dia pun diminta oleh gurunya,
Habib Usman, di Masjid Pekojan, Jakarta Barat, berpidato untuk
mengobarkan semangat kaum Muslim sebagai solidaritas terhadap
saudaranya di Libya. Sejumlah tokoh Syarikat Islam (SI), seperti HOS
Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim, berperan besar dalam menggerakkan
solidaritas umat Islam Indonesia. Mereka mencetuskan agar produk-produk
Italia yang ada di Indonesia untuk diboikot. Di samping memboikot mobil
Fiat, mereka juga membakar peci stambul buatan Italia yang banyak
digunakan ketika itu.
Perjuangan kaum Muslim di Libya melawan penjajahan Italia ini
dipimpin oleh Omar Mukhtar. Peristiwa ini telah difilmkan oleh
Hollywood dengan judul Lion of the Desert (Singa Padang Pasir) yang
diperankan oleh Anthony Quinn sebagai Omar Mukhtar.
Majelis taklim Kwitang didirikannya pada 1911. Dengan cepat,
majelisnya didatangi banyak pengunjung, termasuk dari daerah-daerah
pinggiran, seperti Ciputat, Condet, hingga Depok. Karena kendaraan bus
kota belum ada kala itu, murid-muridnya berdatangan dengan naik kereta
api dan sebagian besar menggunakan delman.
Di samping tasuwir (istilah untuk berpidato ketika itu), ia juga
membuat beberapa kitab, seperti Al-Azhar al-Wardiyah (mengenai akhlak
Nabi) dan Addurar Fi al-Shalawat al-Khair al-Bariyah (buku shalawat
Nabi). Dia juga menggunakan kitab kuning karangan Habib Abdullah bin
Alwi Alhadad, seorang ulama Hadramaut yang hidup sekitar 300 tahun
lalu, yang mengarang Eatib Haddad yang masyhur itu.
Sebagai ulama yang dikenal luas, Habib Ali berdakwah di hampir
seluruh tempat di Tanah Air. Dia juga memiliki banyak murid di
Singapura dan Malaysia. Di samping itu, ia juga telah berkeliling ke
berbagai negara, seperti Pakistan, India, Kolombo, dan Mesir.
Pendidikan Islam modern
Waktu itu, pendidikan agama lebih banyak dilakukan di rumah-rumah
yang disebut ‘pengajian’ secara tradisional. Habib Ali merasa
tertantang untuk membangun perguruan Islam modern. Maka, pada 1911,
berdirilah Unwanul Falah yang letaknya di samping Masjid Kwitang.
Pengajarannya dengan sistem modern, yaitu adanya pembagian kelas.
Karena itulah, banyak orang yang mengakui bahwa Habib Ali adalah guru
para ulama Betawi. Puluhan ulama terkenal pernah menjadi murid di
Unwanul Falah yang juga terbuka untuk murid-murid wanita.
Sekitar 300 meter dari majelis taklim, terletak Masjid Djami Kwitang
(Ar-Riyadh). Pada tahun 1910, masjid ini semula sebuah mushala kecil.
Dengan usaha Habib Ali, pada 1918 surau itu mengalami pembaharuan
pertama berupa masjid dengan ruang depannya sebagai madrasah. Madrasah
ini dinamakan Unwanul Falah. Kemudian, madrasah ini dipisahkan dari
masjid menjadi dua buah sekolah untuk pria dan wanita. Tanah tersebut
diwakafkan pemiliknya, Al-Kaff.
Pada 1963, saat Habib Ali berusia lanjut, melalui putranya, Habib
Muhammad, masjid diperluas untuk ketiga kalinya. Untuk itu, Habib Ali
mengundang sejumlah tokoh Islam dan para ulama terkemuka. Ketika masjid
diperluas untuk ketiga kalinya ini, ribuan jamaah secara sukarela
bekerja bakti melaksanakannya. Pada akhir 1990-an, menantunya, Habib
Said Mahdali, pun mempercantik masjid tersebut hingga saat ini.
Tahun 1960-an, ketika masjid Kwitang direnovasi, jumlah masjid tidak
sebanyak sekarang. Letaknya pun di kampung-kampung. Sementara itu,
gereja-gereja terletak di tepi jalan-jalan raya. Jumlah masjid mulai
banyak dan tersebar di segenap tempat setelah terjadinya pemberontakan
G30S/PKI. Masyarakat makin yakin untuk melawan pengaruh komunis. Masjid
pun dianggap sebagai tempat pergerakan umat.
Beberapa murid beliau adalah pemimpin Majelis Taklim Asyafiiyah, KH
Abdullah Syafei, dan pemimpin Majelis Taklim Tahiriyah, KH Tohir
Rohili. Sejumlah ulama Betawi lainnya yang pernah berguru kepadanya dan
membuka majelis taklim adalah KH Abdulrazak Makmun dan KH Zayadi. Tidak
hanya menganggap mereka sebagai murid-muridnya, Habib Ali juga
memperlakukan mereka seperti kerabat sendiri. Dia sering mendatangi
mereka di kediamannya. Di majelis taklimnya, mereka selalu diberi
kesempatan untuk berpidato. Kemudian, bergabung pula Habib Salim bin
Djindan yang terkenal dengan pidato-pidatonya yang berapi-api. alwi
shahab
Begitu Besar Cintanya pada Rasulullah
Sambil duduk di kursi dan memakai jubah serta berserban
putih–layaknya Pangeran Diponengoro ketika memproklamirkan perlawanan
terhadap Belanda–Habib Ali Alhabsyi dengan suara lembut mengajak ribuan
jamaah di majelisnya untuk meniru akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketika
menceritakan akhlak dan perjuangan Rasulullah SAW, Habib Ali sering
menangis karena rasa cintanya pada junjungan umat tersebut. Bila sudah
demikian, hadirin pun akan segera bershalawat untuk Rasulullah SAW.
Dalam meneladani akhlakul karimah sebagaimana yang diajarkan oleh
Rasulullah, Habib Ali dan penerusnya senantiasa mengajak umat untuk
mempererat hubungan silaturahim dan persaudaraan serta menjauhkan diri
dari ideologi kebencian, hasut, dengki, ghibah, fitnah, dan namimah.
Seperti juga majelis taklim, maulid di Kwitang termasuk maulid yang
tertua di Jakarta dengan membaca kitab Simtud Duror, karangan ulama
Hadramaut, Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi. Dia adalah guru dari Habib
Ali Kwitang ketika belajar di Arab Selatan itu. Habib Ali telah
menyelenggarakan maulid sebanyak 51 kali atas wasiat almarhum gurunya.
Diteruskan oleh Habib Muhammad sebanyak 26 kali dan Habib Abdurahman
selama 16 tahun.
Habib Ali yang meninggal dalam usia 99 tahun pada hitungan Masehi
atau 103 tahun pada hitungan Hijriyah tidak pernah menyinggung masalah
furu’iyah (cabang ilmu fikih). Dia menganggap, agama perlu diamalkan,
bukan untuk diperdebatkan, apalagi saling memusuhi sesama kaum Muslim.
Banyak yang mengatakan, inilah sebabnya majelis taklim Kwitang bertahan
hampir satu abad. Sampai kini, majelis taklim di Kwitang ini telah
memasuki generasi ketiga setelah Habib Ali. Disusul oleh putranya Habib
Muhammad dan cucunya Habib Abdurahman. Putra Habib Abdurahman, yang
juga bernama Habib Ali, tengah dipersiapkan untuk menjadi penerus di
majelis taklim ini sebagai generasi keempat. Dia seorang sarjana
komputer dan kini telah mendalami ilmu agama di Hadramaut, sebagaimana
pernah dilakukan buyutnya, Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi.
Majelis Taklim Habib Ali dan maulid tiap akhir Kamis bulan
Rabiulawal tidak pernah sunyi didatangi pejabat negara. Mulai dari masa
Bung Karno, yang menurut Habib Abdurahman telah mengenal baik kakeknya
sebelum kemerdekaan. Pada tahun 1963, rencananya Bung Karno akan datang
kembali, tapi karena berbagai faktor, yang mewakilinya pada peringatan
maulid kala itu adalah PM Djuanda. Tahun 1965, ketika berlangsung
Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA), para tamu dan kepala negara pun
diantar menko KASAB Jenderal AH Nasution berkunjung ke majelis taklim
Kwitang. Pimpinan Liga Muslimin Sedunia ketika ke Indonesia juga
berkunjung ke majelis taklim Kwitang. Demikian pula dengan Pak Harto,
Pak Habibie, Gus Dur, dan SBY yang sudah mengunjungi majelis ini.
Hindari perbedaan
Ketika tahun 1950-an dan 1960-an, situasi politik tengah memanas,
ditambah lagi masih kerasnya perbedaan khilafiyah. Habib Ali dan
ulama-ulama Betawi pun memaknainya hanya sebagai sebuah pendapat.
Karena itu, Habib Ali tak mau membesar-besarkan perbedaan, apalagi
berbeda dalam masalah khilafiyah.
Majelisnya itu terbuka untuk semua golongan. Tidak heran kalau
majelisnya kerap didatangi oleh orang-orang Muhammadiyah. Bahkan, KH
Abdullah Salim, pimpinan Masjid Al-Azhar di Kebayoran Baru, sering
datang ke majelisnya. Dan, selalu diberikan kesempatan untuk berpidato
oleh Habib Ali.
Ada hal menarik pada pemilu pertama tahun 1955. Ketika itu, NU baru
saja memisahkan diri dari Masyumi dan membentuk partai sendiri. Dalam
masa kampanye itu, Habib Ali tidak menampakkan diri berpihak pada salah
satu partai dan tidak mengemukakan pilihannya secara terbuka meski
lebih dekat kepada Partai NU. Sedangkan, murid dan pengikut setianya,
KH Abdullah Syafei, yang saat itu masih muda dan gagah justru menjadi
aktivis dan tokoh Masyumi. Perbedaan partai ini tidak berdampak sedikit
pun terhadap hubungan akrab antara guru dan murid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar